Aku tidak menyadari bahwasannya kekacauan ini telah berlangsung cukup lama.
Kekacauan yang kubuat akibat terlalu menjadi orang yang perasa.
Hingga aku melakukan kesalahan yang sama, yang pasti akan membuat orang lain muak.
Kesalahan yang pada akhirnya membawaku kembali pada suatu titik.
Titik di mana aku tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki semuanya.
Titik yang membawa rasa percaya diriku jatuh begitu dalam.
Titik yang membuat tangisku tak kunjung reda.
Pada titik ini terkadang kurasakan kesunyian mencekam …
Sunyi, sangat sunyi hingga aku enggan berbicara dengan diriku sendiri.
Namun tak lama kemudian, kesunyian itu bisa berubah menjadi kebisingan yang memekakan telinga.
Sakit! Aku tidak tahan!
Perlahan, saat semuanya tenang, aku seolah mendengar bisikan.
Ada yang memintaku untuk berjuang dan terus bertahan, ada pula yang memintaku untuk mengakhiri segalanya.
Segala kekacauan, kekecewaan, kepahitan dan seluruh rasa yang tak pernah kuinginkan.
Mana … mana yang harus kupilih.
Aku tak bisa memutuskan, lebih tepatnya belum bisa memutuskan.
Hingga tak terasa guyuran hujan tangis dan penyesalan sudah menguasai setengah dari diriku.
Setengah dari diriku sudah tenggelam.
Aku berusaha menggapai apa pun yang mungkin bisa menyelamatkanku.
Dan sekarang, satu-satunya yang bisa kugapai hanyalah sebuah harapan.
Entahlah, aku tidak tahu berapa lama aku yakin akan “harapan,” ini.
Akankah ia menyelamatkanku, atau justru membuatku tenggelam sepenuhnya dalam kubangan dari hujan air mata yang belum juga mereda.