Dulu, saat pertama kali kenal dengan media sosial yang aku kalau nulisnya sering kebalik jadi sosial media wae, ku candu alias adiktif banget sama media sosial. Kala itu facebook, sampai punya empat akun dong. Sementara isinya enggak jauh beda. Sama aja. Foto yang sama diunggah di empat akun facebook tersebut. Belum lagi pemilihan nama yang alay juga cenderung lebay. Malah pernah nyantumin nama pacar yang udah jelas jadi mantan saat ini dan merupakan suatu kesalahan. Pernah juga dong sampai sama pacar tahu password masing-masing.
Sumber : Pixabay |
Setiap hari aku memperbaharui status facebook, hampir setiap menit malah. Dari status lapar, sedih, kesal, kangen seseorang, penyesalan, ngedoa, ngeluh, kesiangan berangkat sekolah, sampai ada siswi sekolah lain yang ku anggap menyebalkan di bus aja aku update. Pokoknya tiada hari tanpa update status. Sampai nih kalau sekarang facebook mengingatkan “kenangan anda,” ku suka malu sendiri. Mana dulu pernah jadi jempolers mania dong. Like-like status dan foto orang demi mendapatkan puluhan like balasan di status dan foto. Sampai suka enggak sadar ngelike foto dan status mantan, lalu ku kemudian ditegur pacar barunya mantan. Wkwkwk.
Enggak cuma facebook, aku beralih penasaran dengan twitter kala itu, 2010, waktu aku kelas sebelas. Asli sampai minta dibuatkan ke seseorang di masa lalu dong karena ku norak sekali enggak tahu caranya membuat twitter. Padahal kan ada mbah gugel. Tanya sama mbah pasti keluar artikel berisi tutorial cara membuat akun twitter. Hei Galing dasar kau pemalas. Lalu di twitter ku mencoba yang namanya kalau ngebales tweet orang dipakaikan kata RT berikut tweet orangnya. Sampai niat banget pakai tweet longer.
Demam dan candu media sosialku enggak berakhir di situ tentunya. Pas awal tahu instagram di tahun 2012, meskipun belum punya ponsel android. Maksa banget dong membuat instagram dan unggah fotonya melalui instagram yang diinstal di aplikasi bluestack. Yang mana semakin membuat laptop bekerja keras bagai kuda. Padahal foto yang diunggahnya pun kebanyakannya buram. Tapi ya bodo amat pada waktu itu.
Nah, seiring perjalanan hidup yang penuh gelombang dan lama-lama jenuh juga. Lalu ku mulai menulis di blog. Ceileh nulis, curhat kali ah Galing. Sekarang ini dan setahunan ke belakang, aku udah mulai jarang banget sih update status. Mampir di facebook paling sebatas membagikan syarat kalau pengin mendapatkan produk gratis anaknya suka nyari yang gratisan, kenangan yang perlu dikenang dan juga membagikan link blogpost. Karena kalau dipikir-pikir ya, enggak ada manfaatnya juga ngeluh di media sosial. Kan enggak semua hal harus dikonsumsi (baca : diketahui) secara umum apalagi sama orang yang enggak dikenal.
Twitter dan google+ pun begitu, kupakai hanya sebatas membagikan link blogpost, atau pas lagi campaign di twitter misalnya. Psst aku sekarang udah punya cabang twitter sih buat ikutan kuis dan ngetwit receh. Padahal di twitter sebelah juga receh aku mah. Soalnya kalau pakai twitter yang @gemaulani (sekalian promosi) suka ada yang komen kurang mengenakan. Eh di twitter masih suka diam-diam ngepoin hastag yang lagi trending sih.
Terkecuali instagram, selain promo blogpost, kadang ku suka mengunggah foto-foto yang pengin kuungah. Walaupun enggak bagus kualitasnya. Dan ditambahkan caption yang banyak enggak nyambung sama fotonya. Enggak tahu sih, kalau di instagram suka masih gatal jarinya pengin ngunggah sesuatu. Tentunya enggak sesering dulu.
Intinya sih seiring pertambahan usia dan juga seiring pertemanan sama mas-mba blogger, juga ikutan campaign sesekali kalau ada yang nawarin. Ku jadi lebih ngerem gitu sama unggah-unggah di media sosial yang sekiranya bisa menganggu kenyamanan orang lain dan juga terlalu pribadi untuk dipublikasikan. Karena ku kepikiran sama kalimat “saring sebelum sharing“. Yeah, aku dan media sosial udah enggak sama lagi seperti dulu saat baru kenal media sosial. Sampai hampir semua media sosial dicoba termasuk Path yang kini tinggal kenangan.