Antara Memasak dan Tidak Memasak

By Gemaulani

Kebaikan tak selalu baik di mata orang lain memang benar adanya bahkan sering terjadi di dalam kehidupanku sehari-hari. Entah di mata keluarga, teman bahkan saat menolong orang yang baru dikenal. Dalam kesempatan kali ini aku akan menceritakan peristiwa yang terjadi di dalam rumah kedua orangtuaku.

Sejak kecil aku sudah terbiasa ditinggalkan mama selama berhari-hari. Entah untuk penataran, diklat, porkab, bahkan menunggui saudara di rumah sakit. Waktu kecil, hal seperti ini tidak jadi masalah. Iya, karena masih ada orang dewasa yang menyiapkan segala sesuatunya. Anak kecil mah taunya dikasih makan sama uang jajan.

Tapi setelah menginjak usia enam belasan dan sampai saat ini, ditinggalkan mama selama beberapa hari tentu jadi sedikit masalah. Iya, bermasalah soal isi perut. Untuk aku sendiri sih bisa makan mie instan. Sementara bapak? Walaupun bahan makanan seperti tahu, tempe, telur, dan sayuran ada. Tetap saja aku bingung mau membuat apa. Bukan, bukan karena aku tidak bisa memasak, tapi ini menyangkut masalah selera dan mood-nya beliau.

Tentang memasak nasi. Nah, jangankan masak lauk-pauknya alias teman nasi. Dalam memasak nasi pun aku sering dianggap gagal. Kalau menurut aku dan mama sudah pas, pulen, enak di makannya. Lain lagi menurut bapak.

“Ari nyangu teh caina sabuku curuk jadi moal ciga leupeut! Teu ngeunah kieu mah, beye.” (“Kalau masak nasi itu airnya cukup satu garis jari telunjuk jadi tidak akan seperti lontong! Tidak enak kalau seperti ini, lembek.”) Kemudian tombol magicomnya aku pijit lagi ke bawah dalam keadaan memasak bukan hangat. Kadang ya, beras yang terlalu bagus, dikasih satu garis telunjuk pun teksturnya begitu, terlalu lembut.

Aku berusaha memasak lauk-pauknya sebisanya. Tempe tepung, telur, ikan sarden dan sayur sop. Karena bapak bilang ingin makan dengan sayur. Begitu semuanya sudah jadi, yang di makan hanya telur dan tempe. Di makannya pun hanya setengah. Tempenya dikomentari, kurang kering. Sayur sopnya, tidak dicicipi sedikitpun. Padahal rasanya enak kok, menurutku sudah pas persis buatan mama. Akhirnya harus dihabiskan seorang diri.

Besoknya aku hanya memasak air, memasak nasi sesuai keinginannya bapak, kemudian hanya menggoreng telur dan tahu.

“Teu masak?” (“Tidak masak?”)

“Atos, itu rencangna na kurung.” (“Sudah, itu lauknya di tudung saji.”)

Kemudian bapak membuka tudung saji dengan raut wajah yang tidak terlalu enak dipandang.

“Ni eweuh rencangna!” (“Kok tidak ada lauknya!”) Kalimat yang sama persis sering diucapkan pada mama. Kemudian bapak hanya makan dengan kerupuk dan kecap.

Akupun jadi serba salah dibuatnya, memasak salah. Tidak masak alias menyediakan yang praktis pun salah. Padahal bapak sendiri jarang memberikan uang belanja tapi mama selalu berusaha menyediakan bahan makanan di rumah. Coba kayak kang Mus di Preman Pensiun ya, yang makan sama telur ceplok sama kerupuk saja sudah cukup. Padahal diluaran sana masih banyak orang yang susah untuk membeli makanan. 

Mungkin, ketika tulisan ini terpublish, banyak yang mengira ini hanyalah sebuah fiktif. Tapi ini nyata, ada di dalam kehidupanku. Atau ada yang berpikiran aku ini durhaka? Semoga saja aku tidak dianggap durhaka dan dikutuk jadi batu (korban cerita malin kundang) karena menceritakan hal yang sedikit minus dari bapakku.
  
http://www.noormafitrianamzain.com/2016/05/giveaway-kebaikan-tak-selalu-baik-di.html

Tinggalkan komentar