CiVid Cafe – Cerpen

By Gemaulani

Bandung, 20 Februari 2015


Gemerisik daun yang saling bersentuhan menyadarkanku dari lamunan. Aku tertegun, menatap sosok perempuan yang memunggungiku dengan jarak dua meter. Semilir angin meniupi rambut hitam lurusnya yang terurai sebahu. Dia selalu berdiri di tempat yang sama setiap pulang kantor. Menatap langit jingga sambil berkomat-kamit merapalkan sesuatu. Sementara aku duduk manis di atas kap mobil, menyaksikan ritual rutinnya tanpa berusaha menganggu.


“Ayo pulang!” langit mulai gelap saat dia menghampiriku dengan senyuman mengembang.
Aku membalas senyumnya, menuntun dia masuk ke dalam mobil dan memasangkan sabuk pengaman untuknya.


“Kita ke Starbucks dulu, ya? aku mau beli vanilla latte sama cheese cake buat persiapan begadang sama kamu!”


Kebiasaan yang sama setelah dia menghabiskan senja dengan menatap langit, pergi ke kedai kopi favoritnya untuk membeli minuman yang sama, setidaknya selama dua belas bulan aku mengenalnya.


“Kamu tunggu di sini ya? Cappucinno, kan?”


Aku mengangguk. Dia akan berjalan tergesa-gesa menuju ke tempat barista. Tersenyum tulus, tertawa kecil bahkan terlibat percakapan dengan pria yang kedua tangan dan matanya terfokus meracik kopi pesanannya. Aku sama sekali tidak cemburu, karena aku tahu pria itu adalah teman kuliahnya, dulu. Dan aku tidak ingin mengetahuinya lebih banyak lagi, untuk apa memintanya mengungkit masa lalu? Toh dia hidup bersamaku di masa sekarang dan yang akan datang.


Sepanjang perjalanan kembali menuju kantor, dia akan terdiam. Sesekali menatap layar ponsel pintarnya dengan gelisah, seolah menunggu kabar dari seseorang. Sementara aku hanya menghela nafas, fokus pada jalanan dan sesekali melihatnya lewat sudut mata. Ayolah, mungkin dia menunggu kabar dari desainer baju pengantin kami … aku perlu mempercayainya dan selalu berpikir positif.
“Kamu punya lagu baru nggak?”


Dia mengeluarkan semua kaset koleksiku, melihatnya satu per satu dan memilih satu di antara semuanya.


“The Script?” Dia mengernyitkan kening, menatapku heran.


“Kenapa?” aku balik bertanya.


“Aku baru tahu ada band namanya The Sricpt …” Dia membolak-balikan kaset dvdnya sebanyak dua kali, “emang lagunya enak?”


“Lagu nggak bisa di makan, Cit!” Aku menggodanya.


Dia merengut, “di denger maksudnya, Omaaaaaaaaaas!”


“Thomas, Cit! T-H-O-M-A-S!” seperti biasanya aku akan mengeja namaku jika Citra memanggilku Omas. Iya sih artis, tapi dia kan perempuan. Sementara aku? Aku perjaka ting-ting.


Citra memasukan kaset itu ke dalam Dvd, tangannya menekan tombol On. Satu per satu kompilasi lagu dalam album ‘No Sound Without Silent’ mulai terputar, memecah keheningan di antara kami.


//My head, my head is full of things I should’ve done
 My heart, my heart is heavy, here it sinks like astone
She said, is this the life you’ve been dreaming of
Spinning half through the way from the things you love
It’s not too late, to do something new//
The Script – It’s Not Right For You.


Lagu itu hanya terputar sebentar, tapi aku dapat melihat perubahan yang drastis pada raut wajah miliknya, membuatku kehilangan fokus mengemudi. Kuberhentikan Alphard ini di pinggir jalan, tak memperdulikan makian pengendara lain yang kaget karena mobilku ngerem mendadak.


“Kamu kenapa, Cit?” kutatap matanya yang berembun. Sementara kedua tangannya gemetar memegang gelas vanilla latte miliknya. Citra seperti orang yang sangat tertekan.


“Aku anter kamu pulang aja, ya? kita nggak usah lembur!” ucapku, tulus. Aku tidak ingin memaksanya terus bekerja dengan kondisi yang tidak stabil.


Dia menggeleng, “gak pa-pa, aku nggak pa-pa. Kita tetep ke kantor, biar semuanya cepet selesai!” ucapnya sambil terus mempererat cengkramannya pada gelas vanilla latte itu.
***
Keesokan harinya, Citra sudah kembali seperti Citra yang biasanya. Tersenyum ramah menyapa seluruh rekan kerjanya, bersemangat menyelesaikan pekerjaan yang berhubungan dengan Akuntansi. Tidak memperdulikan cuaca ekstrim di luar sana. Kilatan cahaya dan suara Guntur menjadi soundtrack hujan sore ini.


“Cit!” aku menepuk bahunya, pelan. Memperhatikan Citra yang fokus pada layar komputernya.
Dia menoleh, tersenyum manis bahkan hampir membuatku terkena diabetes saking manisnya.
“Mau ngajak aku kemana sore ini?”


Aku tersenyum, dia tidak akan melaksanakan ritual hariannya jika hujan turun.


“Ke mana?” ulangnya.


“Ikut aja deh, pokoknya kamu pasti suka!” Dia mengangguk, menerima uluran tanganku.
Sebuah rumah minimalis dengan halaman yang cukup luas di daerah Dago adalah tujuanku. Rumah yang akan kami tinggali beberapa bulan lagi. Gerbang pertama mengarah menuju garasi, sementara gerbang kecil di samping garasi adalah jalan utama menuju rumah. Jalanan setapak dengan bunga mawar yang berjejer rapi sepanjang jalan. Bunga kesukaan Citra.


“Ini …?” Citra menatapku, meminta penjelasan.


Aku mengangguk, “Welcome to our home!”


Citra girang, dia memelukku erat. Kami menghabiskan sore itu dengan melihat-lihat seluruh ruangan di dalamnya.


Ping! Ping! Ping! Suara pesan masuk dari ponsel Citra membuatnya melepaskan genggaman tanganku. Matanya terfokus menatap layar. Entah siapa dan apa pesan yang tertera di ponselnya hingga membuat Citra mematung.


“Aku pulang duluan, ya?” Dia menatapku, memohon.


“Ada apa Cit?”


“Aku mau ketemu sama temen!”


Aku mengernyitkan kening, “aku anter, ya?” bujukku.


 “Nggak usah, Tom. Aku mau pergi sendiri!”


Aku menghela nafas, berat rasanya untuk membiarkan dia pergi, tanpa aku.


“Hati-hati di jalan, ya? kalau udah sampai rumah jangan lupa telepon aku!” Aku mengecup keningnya, lembut. Membiarkan sosok Kimberly Rider KW dua itu menghilang di balik pintu rumah kami, nantinya.
***
Kutatap diriku di cermin, termangu seperti lelaki tolol yang mencoba tetap tersenyum meskipun perasaanku tercabik-cabik. Aku telah membuat orang yang teramat sangat kusayangi begitu menderita. Hingga dia tak mampu membagi penderitaan itu denganku. Hatinya pasti lebih hancur dan terluka lebih dari yang kurasakan saat ini. Dan akan lebih hancur jika aku berpura-pura untuk terus menutup mata, telinga dan hati kecilku.


“Dia pantas bahagia!” Aku tersenyum, kubayangkan senyuman hangatnya yang mampu menggetarkan hatiku saat pertama kali melihatnya di kantor.


Bandung, Februari 2014 …


Dia muncul dengan senyuman sehangat mentari pagi, menjadi magnet berdaya tinggi hingga mampu menyedot seluruh makhluk hidup di sekitarnya, termasuk Miko … ikan koi yang kupelihara di kantor. Dia adalah manajer akuntansi yang baru. Dia mudah berbaur dengan seluruh karyawan hingga aku pun tertarik untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Hanya dalam dua minggu aku pun benar-benar jatuh hati padanya.


“Kamu mau jadi kekasihku?” Aku hadir di acara pesta ulang tahunnya yang ke dua puluh satu, membawakan buket mawar merah kesukaannya beserta kalung hati yang terbuat dari emas putih. Tepat di akhir bulan Februari.


Wajahnya bersemu merah, malu-malu melirik kepada kedua orangtuanya. Dia mengangguk pelan, tanda setuju. Aku merasa sangat bahagia dan sempurna saat itu.


Dan tepat di hari ulang tahunku yang ke dua puluh enam, bulan September aku melamarnya. Mengikatnya dengan sebuah cincin bertuliskan namaku. Hatiku  membuncah bahagia, melesat seperti roket ke angkasa. Kukatakan pada dunia bahwa dia milikku, penyempurna hidupku.
***
“Di mana Citra?”


Sonya, teman dekat Citra sejak masih SMA. Bekerja di kantor milik Ayahku ini, sebagai staff Akuntansi.


“Mmm … itu, …” Dia nampak gugup, sepertinya mereka menyembunyikan sesuatu. Itulah yang kutangkap dari sorot mata Sonya.


“Di mana Citra?” Kuulangi perkataanku dengan nada yang lebih tinggi, membuat beberapa pasang mata menatap kami.


Sonya menatapku ketakutan, tubuhnya gemetaran. “Di puncak gedung!”


Aku mempercepat langkahku menuju lantai dua puluh, ingin secepatnya menyelesaikan masalah ini. Kulihat dia duduk di bibir gedung, kedua kakinya menjuntai ke bawah. Sesekali tangan kanannya memainkan cincin pertunangan kami. Cincin yang mengukir namaku pada jari manis kirinya, dan namanya pada jari manisku.


“Cit …” aku menelan ludah, rasanya ada ribuan pil pahit yang harus kutelan bulat-bulat.
Dia menoleh ke belakang, nampak terkejut dan berlari menghampiriku.


“Ada, apa Omas? Ada kerjaan penting, ya?” Dia masih tersenyum, berusaha menyembunyikan apa yang seharusnya tidak perlu di sembunyikan dariku.


“Lepas cincin di jari kamu dan kamu aku pecat!”


Citra terbelalak, “maksud kamu apa? Aku salah apa?”
***
Diam-diam aku mengikutinya dari kejauhan. Sesuai dugaanku, dia memasuki Starbucks yang terletak di BIP. Kulihat dia menemui barista yang sama. Pria bertubuh tegap, berkaca mata ouvals, berambut ikal dan terlihat bekas goresan di pelipis kanannya. Aku melakukan sedikit penyamaran agar dapat mendengar percakapan mereka dari jarak dekat. Kebetulan saat itu hanya ada beberapa pengunjung hingga aku dapat memilih kursi mana pun.


“Aku mohon, jangan tinggalin aku, Dav!”


Pria itu tersenyum, pahit. “Kita nggak bisa terus seperti ini, Cit. Kamu sebentar lagi akan jadi milik orang lain!”


Wajah Citra memerah, menahan tangis.


“Aku mohon Dav, kita pasti bisa mewujudkan mimpi kita sama-sama! Aku yakin sebentar lagi, pasti berhasil,” Citra mengenggam kedua tangan pria itu kuat-kuat.


Kedua tanganku mengepal sempurna, ingin rasanya melayangkan sebuah tinju kepada Pria itu. Pria yang berani mengganggu tunanganku, calon istriku. Tapi sebisa mungkin kutahan emosiku, aku harus mengetahui apa yang mereka sembunyikan dariku.


Dia menggeleng, kedua tangannya melepaskan genggaman tangan Citra. Aku bisa bernafas lega.
“Nggak bisa, Cit! Aku harus pergi! Aku yakin, kamu bisa mewujudkan semua mimpi kamu bersama dia. Dia punya segalanya, kamu pasti bahagia sama dia.


Citra menggeleng, “nggak, Dav! Aku nggak bisa bahagia tanpa kamu! Aku janji, aku pasti akan berusaha membujuk Ayah lagi!”


“Maaf, Cit!” Pria itu pergi meninggalkannya.


Aku menelan ludah, mencoba mencerna kata demi kata yang terucap dari Citra. Citra berlari membabi-buta, tidak memperdulikan makian orang-orang yang ditabraknya saat keluar dari Starbucks. Aku mengigit bibir bawahku, aku harus mengikutinya. Dia berlari tanpa henti hingga tiba di jalan Riau. Dia berdiri di bawah lampu jalanan yang temaram. Memandang café bertuliskan “CiVid” di hadapannya. Cafe yang terlihat mulai usang dan dipenuhi sarang laba-laba.


***
“Maafin aku, Tom,” Citra hampir saja bersimpuh di kakiku jika kedua tangan ini terlambat meraih kedua tangannya.


“Bukan salah kamu. Aku yang salah, aku nggak sadar kalau kamu sedang bersandiwara,” aku tersenyum.


Citra menggeleng, butiran air mata terus meluncur di pipinya, “aku mohon jangan pecat aku, Tom, jangan batalkan pernikahan kita … aku mohon!”


Aku menggeleng, “Tempat kamu bukan di sini, Cit. Hati kamu bukan untuk aku. Kita akan sama-sama terluka jika melanjutkan pernikahan ini, terutama kamu! Aku nggak bisa!”


“Tapi …”


“Kamu nggak bahagia sama aku, Cit! Bukan aku yang kamu inginkan, bukan pekerjaan di sini yang kamu harapkan, It’s not right for you!” aku memaksanya untuk menatapku.


Citra memelukku erat, lebih erat dibandingkan pelukan kebahagiaan saat aku memperlihatkan rumah yang akan kami tinggali.


“Pergi, Cit! kejar apa yang seharusnya kamu kejar! Impian kamu! Kebahagiaan kamu!”
Citra menatapku nanar.


“Soal Ayah kamu, itu jadi urusanku. Pergilah!” aku menepuk bahunya, pelan.


//If we stay here too long then we’ll, we’ll never grown old
So before it’s too late and it’s killing you yeah
We’ve only one life to live
So love what you do//
***
Aku berdiri di depan café yang sama, ‘CiVid’ yang terlihat begitu ramai pengunjung. Seorang pria begitu lihat meracik kopi pesanan pelanggan. Sementara wanita di belakangnya sibuk membuat udang asam manis dengan senyuman yang mengembang, senyuman yang belum pernah kulihat sebelumnya. Itu Citra yang berhasil mendapatkan pekerjaan yang disukainya, memasak dan membuat kue. Membangun mimpinya bersama David, pria yang di cintai dan mencintainya sejak duduk dibangku SMA. Aku bahagia, meskipun akhirnya Citra kembali bersama David, kekasihnya. Kekasih pilihannya. Dia berhak bahagia dan mencintai apa yang dilakukannya. CiVid, Citra dan David … bukan Citra dan Thomas.

Tinggalkan komentar