sumber gambar : http://desioktariana.blogspot.co.id |
Ini bukan tentang lagu Raisa, bukan pula novel romantis yang lahir dari wattpad dengan jutaan pembaca karya Ainun Nufus. Ini tentang kamu dan aku yang menerobos derasnya hujan untuk kali kedua. Kesempatan kedua yang kusyukuri namun akhirnya kusesali.
Malam itu, aku masih terpekur di depan layar notebook. Menyelesaikan tiga buah artikel sesuai permintaan redaksi. Ditemani gemercik yang syahdu, sepotong cheese cake dan secangkir kopi hitam tanpa gula. Aku tenggelam dalam lautan kata yang membanjiri isi kepala. Hingga tak menyadari kehadiranmu … tepat dihadapanku.
“Ka-ka-kamu?!” aku terpekik, sulit membedakan antara halusinasi dan kenyataan. Apa benar yang kulihat? Apa itu kamu? Seseorang yang kuharapkan berjalan berbalik arah, kepadaku?
Aku mengucek kedua mataku kemudian menggeleng cepat. Kamu tetap di sana, tak bergerak, juga tak menyapa. Hanya tersenyum manis seperti dulu. Aku kembali menggeleng, kemudian menyapukan pandangan pada seluruh sudut ruangan kedai kopi. Tak ada pengunjung lain yang datang, hanya ada dua barista yang sibuk membereskan tata letak meja dan kursi.
“Ini aku, kamu nggak salah liat! Aku bukan hantu!” Kualihkan kembali pandanganku, tepat ke arah dua manik matamu yang teduh.
“Ke-kenapa kamu ada di sini?” Aku kembali tergagap, rasanya masih sulit mencerna apa yang terjadi.
Kamu tersenyum, lebih tepatnya mengejek. Dan aku selalu menyukai hal itu. “Aku ke rumahmu, tapi kamu nggak pulang-pulang,” kamu menghela napas, “aku juga udah kirim chat, terus nelpon kamu. Tapi nomormu nggak aktif!”
Refleks aku meraih tas punggungku, mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Ya, ponselku mati … kehabisan daya. Sedetik kemudian aku mematung, mencerna apa yang baru saja terjadi. Kamu bilang apa? Kamu ke rumah, kamu chat aku? Berusaha menelponku? Kamu mengkhawatirkanku?
“Kok malah ngelamun sih?” kamu mengetuk-ngetuk punggung tanganku. Membuatku tersadar dari isi kepala dan hati yang terus menerka-nerka.
Kuusap peluh yang membasahi wajah, “maaf, aku masih kaget.”
“Kamu nggak pernah berubah, ya? Setidaknya dari terakhir kali kita ketemu!”
Aku terdiam, kamu memang benar. Aku tak pernah berubah, begitupun perasaanku. Aku yang masih saja berharap tentangmu. Berharap bahwa perasaan sayangmu padaku masih sama seperti kali pertama kamu menyatakannya padaku. Enam tahun lalu, seminggu setelah aku dan kamu menerobos hujan bersama. Sekarang, kamu mulai berceloteh, tentang apa yang terjadi dengan kehidupanmu selama tiga tahun terakhir. Setelah kamu tak menghubungiku dan aku berhenti untuk menyapamu melalui sosial media. Rasa-rasanya seperti mengulang masa itu. Masa di mana aku menjadi pendengar yang baik, dan kamu pencerita yang hebat.
***
Kakiku rasanya berhenti menapaki bumi, saat kurasakan jemari kita bersentuhan pada payung lipat miliku. Untuk beberapa saat aku dan kamu terdiam di depan kedai kopi yang gelap. Ya, setiap kali bertemu denganmu, rasanya waktu berjalan begitu cepat … sangat cepat. Padahal, aku selalu ingin berlama-lama, berada di dekatmu. Akhirnya, dengan satu tarikan kamu merebut payung itu dariku. Membukanya dan memintaku untuk segera bernaung di bawahnya.
“Ayo pulang, ini sudah malam! Nanti ibumu khawatir! Kita bisa ngobrol sambil jalan!”
“Hah?” Aku membelalak, menatapmu.
“Aku bakal nganter kamu pulang! Biar aman!”
Layaknya mantra sihir, aku selalu menuruti kata-katamu. Ya, kata-kata yang selalu memenangkan, juga menenangkan. Andai bisa kuhentikan waktu, aku ingin berteriak dan melompat setinggi-tingginya. Aku terlalu bahagia untuk semua ini. Semua yang sama persis dengan urutan peristiwa enam tahun lalu. Kita berbincang, lupa waktu, dan kamu mengantarku pulang. Saat itu hujan pun tengah turun membasahi bumi.
“Bolehkah aku berharap hal yang sama, Ga?” Aku terlanjur mengumamkan pertanyaan itu, beruntung kamu tak mendengarnya, beruntung hujan menyamarkannya.
“Kamu bilang apa barusan?”
“Umm, makasih udah nganterin aku pulang!”
Hanya tersisa satu belokan lagi, aku dan kamu akan tiba di depan rumahku. Tapi, kamu tak menepati janjimu untuk berbincang sembari berjalan. Ah, tak apa … lupakan saja, rasanya kembali sepayung berdua denganmu sudah cukup membuat hatiku membuncah dan rindu yang membuat dadaku sesak akhirnya musnah.
“Boleh aku minta sesuatu dari kamu?”
“Apa?”
“Nanti, aku kasih tahu, kalau kita tinggal selangkah lagi di depan rumahmu!”
Aku hanya mengangguk, kembali melangkah bersamamu. Dan tibalah aku dan kamu di sini, berhenti sebelum menyelesaikan langkah terakhir menuju teras rumahku. Kamu menatapku sembari tersenyum, di bawah payung dan penerangan yang temaram. Tangan kananmu sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tasmu. Aku kembali menerka-nerka apa yang akan terjadi? Apa kamu akan melamarku? Apa kamu sudah putus dengan perempuan itu?
“Aku minta tolong banget sama kamu, berhenti untuk mengunjungi sosial media tunanganku. Dia merasa terganggu. Dan aku nggak mau dia salah paham. Kamu bisa, kan?”
“Dan ini, undangan pernikahan kami, minggu depan,” kamu meraih tanganku, memaksaku untuk menerima amplop merah muda bertuliskan nama kalian yang dicetak menggunakan tinta emas itu. Aku membeku, rasanya ada yang menusuk hatiku dan menghantam dadaku.
“Kamu harus bahagia dan bukan sama aku! Aku pulang, ya? Kamu istirahat, udah malem!” Kamu mendorongku hingga mendekati pintu. Setelahnya berbalik dan menghilang di telan kegelapan.
Aku terduduk lemas, mengenggam amplop di tanganku. Ini kali kedua aku harus kehilangan dirimu. Dulu karena keputusanku dan sekarang atas keputusanmu. Kali kedua aku patah hati. Dan kali kedua harus berpura-pura bahwa aku baik-baik saja. Seperti salah satu kutipan dari buku bang Raditya Dika, ‘patah hati putus cinta itu seperti disengat lebah, awalnya tidak berasa, lama-lama bengkaknya mulai terlihat.’ Awalnya, saat memutuskan untuk tak menerimamu saat itu, aku merasa baik-baik saja, lama-kelamaan aku merasa kehilangan. Selamat untukmu, semoga kamu berbahagia selalu, Aga. Aku akan mengingat kalimat terakhirmu.
“Aku harus bahagia, dan bukan sama kamu! Uli harus bahagia!”
*Fiksi … udah lama nggak nulis, rasanya aneh. Rasanya malah makin acak-adul. Iya kan-kan-kan?