Aku berdiri di depan pintu rumahku, memerhatikanmu yang sibuk melipat jas hujan. Jas hujan yang selama tiga puluh lima menit lalu kupakai dari pusat kota Garut menuju Kadungora. Kau bahkan tak mempedulikan tetesan air hujan yang semakin deras dan menimbulkan bunyi berirama saat menyentuh helm yang melekat di kepalamu.
“Kenapa masih berdiri di situ? Ayo cepet masuk!” kau mengibaskan tanganmu sembari memasang wajah kesal. Dan itu menggelikan. Wajahmu yang selalu ceria dan ramah tak pernah cocok memasang ekspresi seperti itu.
Kedua sudut bibirku terangkat hingga membentuk senyum simpul, “kamu aja yang cepet pulang, baru aku masuk!” Entah mengapa, aku masih ingin memandangimu lebih lama lagi.
Tak kusangka kau beranjak dari sepeda motormu dan menghampiriku. Telapak tanganmu menyentuh poniku yang layu. Mengambil selembar daun yang menempel entah sejak kapan. Disaat bersamaan, seperti sebuah sulap kau memberikanku setangkai bunga mawar. Dan pipiku bersemu merah dibuatnya. Aku sangat bahagia hari ini. Sebelum mengucap selamat malam dan pamit, kau mencubit hidungku.
“Biar cepet mancung!” katamu sembari tertawa pelan.
Melewati beberapa tahun ini bersamamu membuatku percaya bahwa kau akan selalu bersamaku selamanya. Tak seperti hujan musiman, atau hujan yang tiba-tiba datang kemudian pergi. Kuharap aku akan selalu menerobos derasnya hujan demi pulang tepat waktu bersamamu.
***
“Neng, ini kembaliannya!” suara bass ini berhasil membuyarkan lamunanku tentangmu. Ya, ternyata aku melamun. Memutar kembali hari terakhir kita bersama yang masih tersimpan dalam memori ingatanku.
“Terima kasih, mang!” Aku menerima kembalian ongkos ojek dan segera membalikan badan, memutar knop pintu. Berdiri dibalik pintu dengan mata yang terasa panas.
Hujan selalu berhasil membangkitkan kenangan tentangmu, masih tentangmu, selalu tentangmu. Setidaknya selama satu tahun terakhir ini. Kau bahkan tak seperti hujan. Hujan jauh lebih baik darimu. Hujan tak pernah benar-benar pergi. Sesekali ia datang. Sementara kau, kau hanya setetes air yang turun dari langit. Kemudian turut mengalir bersama tetesan lainnya meninggalkanku. Dan takkan kembali
***
Yang harus kau ketahui …
“Ada apa?” aku sangat khawatir saat melihatmu datang dalam keadaan basah kuyup di depan kantorku.
“A-aku, aku akan menikah,” ucapmu lirih dan terbata-bata.
Mataku berbinar, hampir saja berteriak girang. Sayang, semuanya berubah saat kau menyebut namanya. Dia, seseorang yang merebutmu dariku. Hanya perlu dua puluh menit untuknya (mantan kekasihmu, cinta pertamamu) meyakinkanmu bahwa dialah yang terbaik untukmu.
Aku tersenyum tegar, dihadapanmu. Menahan air mata yang siap berjatuhan. Setelah kau pergi, aku menerobos hujan sore itu. Berlari tanpa arah sembari menangis. Untungnya, hujan berbaik hati menyamarkan tangisku, sedihku. Hujan turun semakin deras seolah ingin menemaniku, turut merasakan sedihku … karenamu. Kau dan hujan memang berbeda.