Malam itu aku terbangun dari tidurku dengan kondisi kamar tanpa penerangan seperti biasanya. Karena aku tidak bisa tidur dengan keadaan lampu kamar yang masih menyala. Bedanya, beberapa kali mengerjap-ngerjapkan mata, cahaya kecil yang terbang ke sana-kemari di kamarku tetap tak juga hilang. Dan rasa penasaran membawaku untuk menyalakan flash handphone. Hilang, cahaya kecil itu menghilang. Ini bukan kali pertama, namun cahaya kecil itu tetap menimbulkan tanya.
Akupun memutuskan untuk kembali tidur. Mencoba memejamkan mata meski rasanya masih ada pikiran disertai perasaan yang mengganjal. Hingga beberapa saat kemudian sebuah jeritan keras menyapa telinga kananku. Membuatku terperanjat, jantungku berdebar tak keruan. Cepat-cepat kuraih handphone dan menyalakan aplikasi senternya. Tidak ada apa-apa. Namun tetap saja jeritan itu tidak bisa kulupakan, rasanya masih terngiang-ngiang di telinga.
Perasaan takut yang menjalar membuatku beranjak turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar dan memutuskan untuk tidur bersama mama. Hingga beberapa hari aku tetap tidur bersama mama. Entahlah masih trauma dengan jeritan itu. Jeritan yang kuyakini bukan dalam mimpi.
Sampai akhirnya kumemutuskan untuk kembali tidur di kamarku dengan lampu yang dimatikan. Namun kali ini aku sengaja menyalakan fitur senter di handphone lamaku. Yang kalau lewat tiga jam tidak digunakan senternya akan mati sendiri. Ini cukup membantu sebelum aku membeli lampu tidur mini untuk kamar miniku. Iya, hanya berukuran 1,5 x 2,5 meter persegi. Namun cahaya lampu tidurnya cukup untuk membuat kamarku tidak gelap gulita selepas lampu utama dimatikan.
Karena beberapa tahun ini aku suka gelisah, susah tidur, lelah dan juga gerah kalau lampu kamar enggak dimatikan saat tidur. Berbeda sekali dengan zamannya aku masih sekolah. Aku paling anti mematikan lampu kamar. Bukan karena takut gelap, melainkan enggak bisa aja tidur dengan kondisi lampu mati. Alasannya karena malas mendengar bunyi nyamuk yang nyaring, suka ada kecoa terbang. Kemudian dalam rangka menghindari adegan menyenggol atau tak sengaja menginjak benda-benda saat bangun kesiangan ataupun buru-buru kebelet pipis. Selain itu, ya malas aja beranjak ke saklar lampu kalau tiba-tiba ketiduran saat sedang asyik baca buku. #seribualasan
Lampu tidur mini yang kubeli di salah satu e-commerce ada dua. Yang satu LED biasa aja. Satunya berbentuk jamur. Tapi keduanya sama-sama memiliki cara yang sama untuk menyala. Iya, harus disambungkan atau dicolokkan langsung ke sumber listrik. Makanya kalau kebetulan lagi mati listrik ya dia ikut mati. Harganya mulai dari 15 ribu sampai 50 ribu rupiah tergantung belinya di e-commerce yang sebelah mana.
Meskipun aku membeli dengan harga yang sama, tapi kemasan keduanya berbeda. Yang LED kemasannya sederhana banget, sementara yang bentuk jamur dipakaikan kemasan karton yang walaupun tipis tapi membuatnya terasa lebih mahal.
Lampu tidur mini yang LED biasa ini memiliki cahaya berwarna putih. Ada tombol kecil di bagian badannya. Jadi kalau malas mencabutnya dari colokan listrik ya tinggal di tekan aja tombol off-nya. Selesai deh.
Sementara yang berbentuk jamur dengan daun-daun ala-alanya ini memancarkan cahaya yang berbeda-beda setiap detiknya. Kadang putih, hijau, merah, ungu, kuning, jingga, biru. Dia enggak ada tombol on-offnya. Jadi kalau mau dimatikan ya harus dilepas dari colokan. Karena awalnya kupikir ukuran dia akan lebih besar, namun nyatanya sama aja dengan lampu tidur LED sebelumnya, jadilah jarang kupakai. Cuma sesekali aja. Karena kumerasa kurang nyaman sih cahayanya berubah-ubah.
Nah, kalau kamu lebih suka tidur dengan lampu menyala, gelap gulita atau ada sedikit cahaya dari lampu tidur gengs? Bisikin dong, kan aku kepo … Lampu mini juga lumayan nih buat nemenin webinar.