Pepatah mengatakan, waktu bisa menyembuhkan luka. Namun yang saya yakini luka kali ini tidak akan sembuh sekalipun tahun terus berganti. Yang ada nyerinya semakin dalam hingga mencengkram ulu hati. Ya, pertengahan tahun 2021 ini menjadi patah hati terbesar saya. Saya kehilangan sosok sentral yang paling mengerti saya. Saya kehilangan mama.
Saya baru saja kehilangan salah satu sahabat terbaik sejak SMK di tanggal 5 Februari 2021. Luka saya belum sembuh. Tapi, Tuhan memberikan luka yang lain, diambilnya mama dari sisi saya. Hari itu, Sabtu, 26 Juni 2021 pukul 10.45 WIB, mama pergi untuk selamanya. Tanpa mengucapkan salam perpisahan. Tanpa berpesan apa pun untuk saya yang selama ini bertahan hidup karenanya.
Mungkin kamu pernah mendengar lagu Nadine Amizah – Bertaut. Ada bagian “nyawaku nyala karena denganmu.” Ya, selama ini, mama yang membuat nyawa saya menyala. Mama menjadi separuh jiwa dalam kehidupan yang hingga detik ini penuh kejutan.
Saya selalu bilang kepada mama “daripada mama yang pergi duluan … mending aku aja.” Dan selalu bertanya “Mama umurnya masih panjang, kan? Jangan tinggalin aku sendiri. Nanti aku sama siapa?”
Sejak kecil saya paling dekat dengan mama. Mama yang paling memahami sifat saya. Mama mengajarkan saya banyak hal baik. Mama memang bukan ibu yang sempurna. Karena di dunia ini memang enggak ada manusia sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah. Jadi tentu saja ada saat-saat di mana saya marah pada mama. Marah karena saya sayang kepadanya.
Hari Itu Rasanya Seperti Mimpi
Ketika mama sakit, hal yang paling saya takutkan adalah kehilangan mama. Ketika mama sakit, yang saya perhatikan adalah napasnya. Dan pagi itu napasnya semakin melambat. Pelan … hingga tak lagi bersisa. Ucapan innalillahi wainnailahi rojiun dari dokter menjadi pembuka gerbang sakit yang tidak berdarah tapi lukanya lebih parah. Saya berusaha sekuat tenaga tidak menangis, walaupun tentu saja mata saya sudah dipenuhi air mata yang siap berjatuhan … mengalir deras tanpa bisa dihentikan.
Ingin menangis, ingin meraung, ingin marah. Tapi yang terjadi saya berusaha menguatkan bapak. Yang saya kira tak akan menangis, justru menangis sesenggukan. Dengan tenaga yang tersisa berusaha menguatkan beliau, memberi penghiburan, padahal diri saya sendiri hancur.
Menunggu kedatangan kakak menjadi waktu terlama dan paling menyakitkan. Saya berusaha sekuat tenaga … dengan tenaga yang tersisa … untuk bergerak, kaki saya berjalan menuju ke ruangan dokter untuk mengurus administrasi kepulangan mama. Rasanya seperti melayang. Menolak percaya tapi kehilangan ini nyata adanya.
Mati Rasa di Malam Pertama Mama Tak Lagi Bersama Saya
Ya, saya mati rasa. Memaksakan diri untuk makan. Tak ada rasa apa pun dilidah. Hambar … dan kesunyian menyelimuti diri saya menjelang waktu tidur. Memaksakan diri untuk terlelap tapi mata enggan terpejam. Padahal semalaman saya tidak tidur saat menjaga mama hingga Tuhan membawanya pergi dari sisi saya. 24 jam non stop saya terjaga.
Itu berlangsung hingga 7 hari, saya malas makan. Saya malas merawat diri. Setiap malam, sehabis sholat … saya menangis dalam diam. Dada rasanya sesak. Pembawa keceriaan, pembawa kehangatan di rumah sudah tak ada.
Orang yang paling perhatian pada setiap anggota keluarganya. Yang tak pernah menangis di hadapan saya terkecuali saat berterima kasih karena sudah saya bantu. Bantuan kecil yang mungkin tak akan pernah sebanding dengan apa yang telah mama berikan.
Rindu Itu Berat
Benar kata Dilan, rindu itu berat. Apalagi yang kamu rindukan sudah tak ada lagi di bumi. Tak ada yang mendengarkan saya lagi ketika ingin bercerita di rumah. Tak ada yang paling memahami saya ketika tidak keluar seharian dari kamar. Tak ada yang mengingatkan saya untuk segera bangun ketika waktu subuh hampir habis. Tak ada yang bertanya, “mau beli bubur enggak?”
Saya sering melayangkan protes kepada mama saat beliau mendengkur. Suara dengkurannya kadang membuat saya sulit tidur. Apa yang terjadi sekarang? Sekarang saya rindu dengkurannya. Saya rindu tidur dipeluk mama. Rindu ini sangat menyiksa.
Saya juga rindu pelukan mama setiap kali saya merasa sangat lelah dan ingin menyerah. Saya rindu jawaban mama ketika saya bertanya “kita pasti bisa melewati segala kesulitan ini, kan ya?”
Permintaan Sederhana yang Belum Sempat Saya Wujudkan dan Candaan yang Jadi Kenyataan
Ma, maaf karena permintaan sederhana mama untuk potong rambut belum sempat saya wujudkan. Jujur saya menyesal, mengapa tak meluangkan sedikit saja waktu saya untuk memotong rambut mama. Tapi terus menyesal pun tak ada gunanya kan, ma. Waktu enggak bisa diputar ulang. Mama enggak bisa dihidupkan kembali.
Ada banyak makanan dan jenis minuman yang harus mama hindari setelah terkena tekanan darah tinggi parah dan gula darah yang meningkat. Mama menurut untuk menghindarinya, tapi seminggu sebelum mama pergi, mama bilang mau minum kopi, sedikit aja, boleh ya.
Tanpa menunggu saya menjawab, kita berkata secara bersamaan. “Boleh, bisi keburu mati, biar enggak penasaran.” Lalu saling tertawa, itu kalimat bapak yang sering kita ulang-ulang untuk bercanda ketika bapak berjanji untuk enggak makan atau minum yang bikin perutnya sakit. Candaan itu akhirnya mewujud nyata, saya kehilangan mama.
Ma, maaf jika saat mama pergi saya belum sempat membanggakan mama, memberikan hal terbaik untuk mama. Walaupun mama selalu bilang, semua orang punya jalan hidup berbeda. Saya bukan orang yang gagal.
Ma, terima kasih karena telah mengajarkan banyak hal baik. Terima kasih karena tak pernah marah. Terima kasih sudah memberikan kepercayaan penuh pada saya. Tidak pernah melarang ke mana saya akan pergi. Terima kasih telah mendukung segala keputusan saya selama ini.
Ma, saya berjuang melanjutkan kehidupan, walau rasanya berat sungguh. Tapi ini suatu kemajuan kan, ma. Anak mama yang cengeng, gampang nangis, emosian, suka enggak sabaran akhirnya mampu bertahan. Mungkin mama percaya kalau orang-orang di sekelilingku lebih banyak yang baiknya daripada yang jahat, makanya mama bisa meninggalkan saya dengan tenang.
Ma, walaupun saya mungkin bukan anak yang sholeha, semoga Tuhan mendengar doa-doa saya buat mama. Saya percaya mama berbahagia di sana. Mama orang baik, mama ibu yang terbaik untuk saya. Sama seperti kakek dan nenek. Kalau dipikir-pikir mama sudah berkumpul dengan semuanya ya, termasuk kakak. Semoga kelak saya juga bisa ketemu mama lagi.
Walaupun tak ada lagi mama yang mendoakan saya, saya percaya doa-doa mama sebelumnya akan menjaga saya dan didengar Tuhan. Walaupun saya kehilangan kompas dan pondasi kuat dari mama, saat ini saya sedang berjuang untuk mengetahui arah mana yang harus dituju, dan mendirikan kembali pondasi yang runtuh.
Walau tak lagi bisa memelukmu secara langsung, saya bisa memeluk mama dalam doa, bukan?
I love you to the moon and back, ma. Mama selalu hidup, di hatiku, dan dalam pikiranku.