Dan jujur saja, hidup sendirian membuatku semakin sinting-bicara pada diri sendiri, membaca buku keras-keras di kamar mandi, dan memutar film tanpa menontonnya hanya agar ruangan nggak terlalu sunyi. Aku sudah sampai pada titik di mana aku bosan mendengar suara sendiri. Kalau ada stalker yang ingin bicara kepadaku, aku siap menerimanya, asal dia mengeluarkan suara yang berbeda dariku.
Dari novel JAKARTA SEBELUM PAGI – Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie halaman 51
Kebetulan buku terdekat yang tergeletak di kasur adalah novelnya Ziggy yang ini. Kenapa? Karena lagi dibaca ulang. Terus kenapa milih paragraf yang ini? Simpel sih, karena aku merasa, inilah yang sedang aku alami saat ini. Meskipun nggak seratus persen sama.
Aku masih punya orangtua lengkap dan tinggal di rumah. Tapi aku merasa sendirian. Karena suasana di rumah nggak menyenangkan seperti saat aku masih kecil. Aku merasa sendirian dan semakin sinting. Iya, ngomong sama diri sendiri, nanya sendiri, jawab sendiri. Aku juga nggak punya teman buat diajak bicara sekalipun lewat chatting. Iya, semua serba berubah setelah mereka bekerja aku menganggur bekerja mengganggur lagi , mereka menikah, aku belum. Aku nggak punya apa-apa, mereka punya segalanya. Perbedaan itu membuat aku merasa nggak pantes buat jadi teman mereka, nggak pantes ganggu mereka.
Kalau Emina di novelnya Ziggy ini membaca keras-keras di kamar mandi, aku membaca dalam hati dan menyanyi keras-keras di kamar saat merasa frustasi. Aku juga sering memutar film di laptop atau menyalakan televisi tanpa berniat menontonnya. Ya, seperti halnya Emina, aku juga berada pada titik di mana aku bosan mendengar suara sendiri. Berharap ada orang yang mau bicara sama aku, sekalipun dia seorang stalker. Tapi sayangnya nggak ada yang stalkerin aku. Kemudian ketawa sendiri karena merasa konyol membayangkan punya stalker.