Terjebak Di Keramaian – Bukber 9F Essan 2008

By Gemaulani

Ketika ada pertanyaan mau ikut bukber (buka bersama) atau tidak dari salah seorang teman di kelas 7 & 9 F, maka seketika itu juga aku meragu untuk mengiyakan. Entah kenapa, di tahun 2019 ini aku sedang terlalu malas untuk keluar rumah. Untuk bertemu dengan teman. Entahlah, bagiku, dunia di sekitar akhir-akhir ini terasa kurang bersahabat, kurang menyenangkan. Apalagi jika aku pergi sendirian. Mungkin salah satu dari kamu akan bilang, pikiranku saja yang terlalu negatif.

Ah baiklah, mari hentikan membahas hal di atas, mari kembali pada ajakan untuk bukber. Ya, pada akhirnya aku memutuskan untuk hadir pada waktunya. Pada hari minggu kuturut ayah ke kota tanggal 26 Mei sore, kuberhasil melawan rasa malas, rasa ragu dan rasa-rasa lainnya. Tidak termasuk rasa takut bertemu dengan mantan. Karena antara aku dan dia baik-baik saja meskipun dulu tak berakhir dengan baik akibat ulahku.
Rumah makan Ponyo, saung lesehan no 27 menjadi saksinya. Bahwasannya aku tiba paling awal. Pukul lima sore, duduk sendirian sembari menikmati pemandangan langit yang cerah kala itu. Hampir setiap menitnya aku menengok ke belakang, setiap kali mendengar bunyi alas kaki beradu dengan lantai, atau suara tertawa yang renyah, yang tanpa sengaja menyapa gendang telinga walau asalnya bukan dari temanku.

Detik demi detik yang berubah menjadi menit demi menit berlalu. Membuat rasa bosan mulai menggerogoti sebagian dari diriku, terutama pikiranku. Hingga akhirnya, setelah sekitar 20 menit berlalu. Dua orang itu datang, Dini dan Arip. Dini yang namanya bahkan tertera di atas meja sebagai pemesan. Dini yang dengan sabar mengajak satu persatu masing-masing dari kami penghuni 7 & 9 F Essan 2008. Yang kemudian membuatkan kami sebuah grup. Yang kebingungan ketika ditanya mau pesan paket apa dan pada akhirnya dipesankan paket nasi liwet untuk delapan orang, begitu tuturnya.


Pemandangan dari saung lesehan yang dipesan cukup indah. Aku bisa melihat langit yang cerah, aneka pohon termasuk pohon kelapa, bangunan baru di seberang sana dan begitu banyak orang yang sepertinya tengah mengadakan acara buka bersama juga. Tapi yang paling aku suka adalah melihat langit senja dengan semburat jingga. Walau hari itu lebih terlihat merah muda.

Satu persatu pesanan kami sudah datang. Ditambah dengan pesanan tambahan berupa kopi untuk Arip, green tea untuk aku dan empat botol air kemasan yang menurut iklan ada manis-manisnya itu lho. Namun, walaupun pesanan datang, kami masih tetap bertiga … padahal sudah mendekati waktu adzan maghrib. Sementara grup kelas hening, sunyi senyap bagai tak berpenghuni. Orang-orang yang sejak berhari-hari lalu ramai entah hilang ke mana.
Arip dan Dini masih berusaha menghubungi nama-namanya yang ‘katanya’ akan datang. Ya, alhamdulillah, pada akhirnya jumlah kami bertambah saat adzan maghrib berkumandang. Ada Amelia yang membawa serta putrinya, Hamdani dan Handi. Selebihnya tidak jadi datang karena ada bukber di tempat lain, tidak bisa meninggalkan pekerjaan, belum mudik dan lain sebagainya.

Di rumah makan Ponyo ini ada berbagai tipe saung lesehan. Semakin banyak orang semakin besar. Paling sedikit sepertinya empat orang. Seperti yang kulihat di bagian bawah, dekat kolam ikan. Selain lesehan, ada juga yang bermeja-berkursi. Tinggal disesuaikan dengan kebutuhan. Lahan parkirnya terbilang luas, ada di bagian depan, dan ada juga yang masuk ke belakang. Di bagian bawah tersedia mushola yang cukup luas.

Harga dan jenis makanannya tak berbeda jauh dengan restoran sunda pada umumnya. Sayangnya, menurutku, mohon maaf, di sini tidak begitu lengkap dibandingkan para pesaingnya. Karena ku bahkan tak menemukan jus pada pilihan minuman. Sebagai pencinta jus wortel kalau masuk restoran, ku sedih gitu lho. Tapi tak apa ada green tea sebagai gantinya.

Akhirnya kami pun menikmati nasi liwet yang dipesan untuk delapan orang. Dua kastrol kecil nasi dengan satu nyiru (tampah) berisi lalapan, potongan ayam bakar, tahu, tempe, ikan asin, dan sambal. Selain itu dalam menu tersebut sudah termasuk segelas air teh tawar untuk sepuluh orang. Ayam bakarnya enak, nasinya pun begitu, sayangnya aku tak terlalu suka dengan sambal terasinya. Sementara green teanya kurasa sedikit lebih manis dari bayanganku.

Setelah selesai makan, kami sedikit berbincang, apa saja asal ada yang bersuara di saung lesehan kami. Karena samping kanan-kiri, dan tepat di depan kami begitu ramai. Inilah mungkin yang dinamakan rumput tetangga terlihat lebih hijau. Eh ya, untuk tempat cuci tangannya cukup unik. Kerannya ala-ala kendi. Terletak di sudut, tepat di belakang pintu masuk.

Sebelum pukul tujuh kami sudah membubarkan diri, padahal di tahun 2017 sih sampai jam delapan lewat. Harap maklum jumlah yang datang berbeda. Kami saling berpamitan satu sama lain. Pulang menuju ke rumah masing-masing. Terima kasih, walaupun merasa terjebak di keramaian, setidaknya kebahagiaanku hari itu bertambah. Semoga ke depan, akan ada masa-masa bertemu seperti ini lagi, berkumpul, saling bercerita. Dan tentunya dengan formasi yang lengkap.

Dok. Dini

Sampai bertemu lagi di lain kesempatan …

Tinggalkan komentar