Oleh : Ge Maulani
Cerpen ini tergabung dalam antologi My Story Of Football pada event yang diselenggarakan oleh AE Publishing pada tahun 2014 lalu.
Bentuknya bulat dan berisi. Dia bisa menggelinding ke sana kemari jika di tendang oleh kaki manusia. Dia juga bisa melambung tinggi di angkasa. Kemudian kembali ke bumi dan masuk ke dalam tiang gawang … yang berarti tambahan satu angka untuk lawan bermain. Lagi-lagi si kulit bundar ini mencuri perhatian kami sekeluarga. Membuat kami berkumpul di ruang keluarga hanya untuk menontonnya. Menonton kesebelasan andalan kami berlaga, Persib Bandung. Klub sepak bola lokal yang di juluki si Maung Bandung ini selalu kami nantikan penampilannya. Berharap dia akan menang saat melawan Arema Malang.
“Ayo Firman, terus serang!” teriak kakakku.
“Ayo Sib, Ayo … masa kalah sama Arema!” Bapak tak mau kalah.
“Atep menggiring bola, terus menuju kotak penalti dan …”
“Sayang sekali sodara-sodara, membentur tiang gawang dari Arema” lanjut komentator bola.
Kami semua memegang kepala dengan kedua tangan masing-masing tanda kecewa dengan serangan yang gagal di eksekusi oleh Atep. Kami harus puas dengan skor satu kosong di babak pertama, unggul satu poin untuk Persib. Sambil menunggu jeda iklan dan penampilan Persib di babak kedua, Ibu dengan sigap menyiapkan camilan tambahan untuk kami semua.
Kick off babak kedua pertandingan antara Persib melawan Arema Malang akan segera dimulai. Kami sudah bersiap kembali di depan televisi berukuran 21 inchi itu. Dengan semangat 45 kami menunggu wasit meniupkan peliutnya. Selang lima belas menit kemudian kami harus menelan kekecewaan dengan skor dua satu.
“Ah, payah … pasti deh suka kayak gini. Di awal udah menang. Di babak kedua malah sama!” Aku menggerutu.
“Yee … emangnya maen bola gampang apa!” balas kakak sembari melemparkan bantal kursi ke arahku.
“Ya tinggal tendang aja kali kak, susah amat! Kayak kita waktu kecil kan sering main bola berdua!” protesku, tak mau kalah.
“Itu kan cuma main-main aja dek, ini kan beda lagi. Ini pertandingan dan di lapangan yang luas banget! Perlu teknik dan strategi untuk menyerang lawan.”
Sejak dulu aku memang suka menonton sepak bola, sama seperti keluargaku yang lainnya. Dari mulai nonton Persib, Timnas U-19, MU, Chelsea, dan Piala Dunia. Saat itu aku mengidolakan Eka Ramdani, Zaenal Arif, Christiano Ronaldo, Irfan Bachdim, Kenji, Sergio, dan Evan Dimas. Bahagia rasanya saat melihat mereka menggiring si kulit bundar itu di tengah lapangan.
Kami kembali fokus pada pertandingan di layar kaca itu. Dengan mata berbinar, menantikan si Maung Bandung mencetak gol berikutnya. Tiba-tiba saja wasit mengeluarkan kartu kuning untuk salah satu pemain Persib. Kami saling menatap.
“Salahnya di mana coba? Kok tiba-tiba kartu kuning!”
“Iya ih kok kartu kuning!” aku tak kalah herannya dengan kakakku.
“Itu kali gara-gara ngejatuhin lawan” sambung mama.
Akhirnya kami kembali menelan kekecewaan atas tendangan penalti yang berhasil menembus dinding pertahanan Persib dan penjaga gawangnya. Kedudukan menjadi dua sama hingga akhir pertandingan.
Namun, yang terbaik dari menonton si kulit bundar dan tim sepak bola kesayangan kami itu adalah kebersamaan kami. Jika ada pertandingan bola, semua anggota keluarga pasti berkumpul dan akrab di depan televisi. Berbeda dengan hari-hari biasanya yang sibuk dengan kesibukkan masing-masing. Pertandingan sepak bola membuat kami memahami satu sama lain. Obrolan kami dapat di mengerti oleh semua orang. Berbeda ketika aku menceritakan bahasa pemrograman, bapak menceritakan komponen elektronik, mama mengajar murid-muridnya dan kakak menceritakan pembuatan kendaraan roda empat di tempat kerjanya.