Kisah Ranti dan Ranto, Tugas Kelima

By Gemaulani

Kisah Ranti
           Siang Ini begitu cerah dan indah,
namun tidak semua orang sedang berada dalam rasa bahagia, seperti Ranti yang
tiba ditaman 15 menit lebih awal dari kesepakatannya untuk bertemu Ranto,
kekasihnya. Raut wajah Ranti terlihat sedang memikirkan sesuatu, sesekali dia
menarik nafas panjang dan kemudian menghembuskannya secara perlahan, dia
mencoba menenangkan pikirannya dan mencoba bersikap tenang. Harusnya hari ini
adalah hari bahagia untuk Ranti dan Ranto, karena pada hari ini, tanggal 4
Oktober 2012 adalah hari jadi mereka yang ke 4 tahun. Waktu yang sangat lama
untuk sepasang kekasih mempertahankan hubungan mereka.
            Tapi dengan sangat berat hati, hari
ini Ranti harus memutuskan hubungannya dengan Ranto, karena orangtua Ranti
telah menjodohkan Ranti dengan seorang Dokter muda bernama Rino, orangtua Ranti
tidak pernah setuju dengan hubungan Ranti dan Ranto yang dimulai ketika Ranti
dan Ranto masuk kuliah dan kini mereka akan menghadapi moment yang sangat
dinantikan yaitu, wisuda. Ranti dan Ranto memang sangat bertolak belakang dari
segi kebiasaan dan sifat, Ranti cenderung terlihat sebagai wanita yang anggun,
smart, memperhatikan kebersihan, dan rajin. Sementara Ranto bersifat urakan,
apa adanya, jorok dan pemalas. Entah apa yang telah membuat mereka bersama
untuk waktu yang cukup lama.
         Ranti benar-benar gelisah, dia takut
menyakiti hati Ranto jika dia memutuskan hubungan mereka secara tiba-tiba tanpa
ada angin ribut dan hujan badai. Tapi Ranti tidak memiliki pilihan lain, kedua
orangtuannya terus mendesak agar Ranti segera 
memutuskan hubungannya dengan Ranto. Ranti sangat gelisah, dia berdiri
dari kursi taman yang tadi dia duduki, dia berjalan perlahan kemudian berjalan
mondar mandir tanpa arah seperti setrikaan. Namun kemudian dia kembali duduk
dikursi taman itu.
            Dia terlihat semakin gelisah dan
memandangi jam tangannya berkali-kali, menghitung detik demi detik yang
berlalu, detik yang menunjukkan sebentar lagi Ranto akan datang. Ranti membuka
tasnya dan mengeluarkan dompet miliknya, dia kemudian mengeluarkan foto-fotonya
yang masih bersama Ranto. Dipandanginya wajah Ranto di foto itu dengan lekat,
hingga akhirnya tetes demi tetes airmata pun jatuh membasahi pipinya.
            “Mas Ranto, maafin aku.. ini bukan
mauku, aku tidak bisa menolak perintah ibu dan bapak, walaupun aku sangat
menyayangi kamu, tapi aku tidak mungkin melawan ibu dan bapak, aku tidak mau
menjadi anak durhaka” ucap Ranti pelan
            Ranti tidak bisa membayangkan apa
yang akan terjadi pada Ranto, jika dia tahu kalau hari ini Ranti berniat memutuskan
hubungan mereka dan akan membuat ini sebagai pertemuan terakhir mereka. Ranti
mengalihkan pandangannya ke arah kumpulan bunga-bunga mawar yang menghiasi
taman dan menyebarkan aroma harum yang sangat khas. Kemudian mawar itu
dikerubungi oleh lebah-lebah dan kupu-kupu warna warni yang sangat cantik,
terbang hilir mudik ke sana kemari. Burung-burung juga berterbangan secara
berkelompok bahkan ada yang berpasang-pasangan membuat iri hati Ranti yang
sedang bersiap-siap memutuskan hubungannya dengan Ranto.
            “Mas Ranto, aku ndak siap melihat
raut kekecewaan dan kesedihan diwajah kamu” kata Ranti dalam hati dengan gaya
bicara khas orang jawa tengahnya.
            “Gusti Alloh, aku berat sekali untuk
memutuskan hubunganku dengan Mas Ranto, begitu banyak kenangan yang aku jalani
bersama dia” ucapnya lagi didalam hati.
            “Mas,, sudah lama semenjak kita
magang dan sibuk mengurusi skripsi masing-masing, kita belum pernah bertemu
lagi, dan sekarang dipertemuan ini, aku akan menyakiti hati dan perasaanmu, aku
tak tahu harus bagaimana, mas, ketika melihatmu nanti, aku tak tahu harus
berkata apa, aku tak tahu mas,, aku bingung, aku sangat takut kehilanganmu,
tapi aku juga,,” kata Ranti didalam hatinya.
            Hatinya semakin berkecamuk dan resah
tak menentu, sesungguhnya Ranti sangat menyayangi Laki-laki yang bernama Ranto
itu, namun bagaimanapun dia tidak akan bisa menentang kedua orangtuanya yang
sangat dia sayangi dan hormati. Dari dulu kedua orangtua Ranti tidak pernah
menyetujui hubungan mereka, karena penampilan Ranto yang urakan dan juga
profesinya sebagai anak band yang berpenghasilan minim, kedua orangtua Ranti
sangat khawatir anaknya akan terjemus dan berperilaku jelek seperti Ranto, tapi
sampai saat ini Ranto tidak pernah memberikan pengaruh buruk terhadap Ranti.
Pikiran Ranti melayang pada kejadian saat Ranto berkunjung pertama kali ke
rumahnya dan dia memperkenalkan Ranto kepada kedua orangtuanya.
            Ranto bertopang kaki diatas meja
tamu yang ada diluar rumah, sepatunya sangat kumal, karena jarang sekali
dicuci. Rambutnya gondrong dan berwarna merah, kuku-kuku dijarinya dibiarkan
memanjang dan tidak terawat. Sesekali dia menghisap rokok kesukaannya dan
membiarkan asapnya mengepul ke segala arah.
            “Mas,, ojo ngono to sampean… engko
bapak rak seneng periksane” kata Ranti
            Ranto hanya terdiam dan wajahnya
terlihat kebingungan. Jelas saja Ranto baru beberapa bulan menginjakkan kakinya
di Surabaya.
            “Kamu ngomong apa, Ti? Aku gak
ngerti” kata Ranto
            “Astagfirulloh, maaf mas,, aku lali,
kamu kan belum bisa bahasa Jawa” kata Ranti
            “Emang tadi apa artinya?” Tanya
Ranto
            “Mas, kamu jangan begitu, nanti
bapak nggak suka ngeliatnya”
            “Emang aku gimana?” Tanya Ranto yang
memasang wajah polos
            “Itu” tunjuk Ranti yang tepat
tertuju kepada kaki Ranto yang bertopang dan berada diatas meja.
            Mata Ranto mengikuti arah jari
Ranti.
            “Why? Aku kan udah biasa kayak
gini!” protes Ranto yang wajahnya mulai kecut.
            “Kalo diluar ya ora opo-opo, tapi
kalo ketemu bapak sama ibu itu gak boleh gitu, namanya nggak sopan, bapak sama
ibu aku pasti nggak suka ngeliatnya mas” tutur Ranti
            “Halah,, kau ini banyak sekali
aturannya, ini gak boleh itu gak boleh, harus gini, harus gitu, blablabla,,
pusing aku dengernya” balas Ranto denga muka kesalnya.
            Ranti hanya terdiam dan menunduk,
berusaha menyembunyikan airmatanya yang siap berjatuhan seperti rintik hujan.
            “Okey, fine,, aku turuti lah
kata-kata kamu, semua ini aku lakukan demi kamu” kata Ranto yang menyesal
karena telah membuat Ranti tertunduk lesu dan sedih.
            Ranti mengangkat kepalanya dan
mengubah matanya yang berkaca-kaca kedalam senyuman manis yang sangat lebar.
Ketika Ranto berkata demikian dan menurunkan kakinya dari atas meja.
            “Tambah cantik ya pacarku ini kalau
sudah tersenyum” puji Ranto
            Ranti tersipu malu, wajahnya mulai
memerah dan terasa panas medengar pujian dari Ranto.
            “By the way.. ibu bapakmu kemana
sih?” Tanya Ranto penasaran.
            “Ya seperti biasanya ibu ke toko
batiknya, kalau bapak ya sibuk ketemu sama rekan-rekan kerjanya” Ranti mencoba
menjelaskan secara detail kepada Ranto.
            Ranto hanya manggut-manggut,
kemudian menghisap kembali rokoknya dan membiarkan asapnya mengepul ke segala
arah. Ranti sebenarnya sangat benci dengan kebiasaan Ranto merokok, Ranti tidak
pernah mempermasalahka Ranto seorang anak band dan penampilannya yang tidak
karuan. Tapi Ranti tidak memiliki hak untuk melarang apa yang Ranto sukai,
karena kebiasaa merokok bagi lelaki berusia 19 tahun mungkin bisa dianggap
wajar. Walau sebenarnya rokok menimbulkan banyak penyakit dan membuat boros.
            “Ti, aku haus banget nih..” kata
Ranto
            Ranti tersenyum “Walah, mas.. maaf
yo.. aku lupa belum bikinin kamu minuman, kamu mau minum apa?”
            “Aku mau kopi susu aja.. kalo bisa
sama makananya juga, ya” pinta Ranto sembari terkekeh-kekeh.
            “Kamu ini, nawar terus,, dikasih
minum aja mestinya kamu bersyukur mas” balas Ranti yang kemudian berlalu menuju
ke dapur dan membuatkan kopi susu serta membawakan beberapa camilan dan
panganan buatan ibunya.
            Ranti kemudian meletakkan kopi susu
dan camilan-camilan yang dia bawa diatas meja.
            “Aihh,, calon ibu rumah tangga yang
baik ini sama calon suaminya” kata Ranto sembari mengambil lontong isi buatan
ibunya, Ranti.
            Ranti tersipu malu kembali akibat
perkataan Ranto.
            “Ah, mas ini bisa aja ngegombalnya”
rajuk Ranti
            “Aku serius ini” kata Ranto dengan
mulut yang terisi penuh dengan lontong isi sayur juga isi oncom.
        Ketika mereka sedang bersenda gurau,
tiba-tiba ibu Tia ( ibunda Ranti) datang dan menghampiri mereka. Ibu Tia
memandang Ranto dengan tatapan heran juga jijik melihat penampilan Ranto yang
sangat urakan da nasal-asalan, apalagi ketika beliau memandang sepatu kotor
milik Ranto, yang awalnya warna putih berubah menjadi cokelat pekat dan berbau
sedikit busuk.
            “Assalamualiakum” kata ibu Tia
        “Waalaikum salam,, ibu” balas Ranti
yang berdiri dari tempat duduknya dan segera menghampiri ibunya serta mencium
tangannya.
            Sementara Ranto hanya acuh dan
tersenyum kepada ibu Tia.
            “Mas,, sungkem sama ibu” pinta Ranti
            “Hah? Apa?” Tanya Ranto yang tidak
mengerti maksud Ranti
            “Salaman sama ibu” pinta Ranti
        Ranto pun segera berdiri kemudian,
mengelapkan tangannya ke celana jeansnya, karena tangannya kotor dengan bekas
kue dan lontong, lalu setelah itu dia menuju ke arah ibu Tia dan mencoba meraih
tangan ibu Tia, ketika dia akan mencium tangan ibu Tia, tiba-tiba ibu Tia menarik
tangannya yang pegang Ranto, kemudian bergegas masuk ke dalam rumah. Ranto
terlihat sangat kebingungan ketika itu. Ranti menatap Ranto kemudian dia juga
bergegas masuk untuk menyusul ibunya.
            Ranto kembali duduk dikursi tadi dan
menikmati kopi susunya yang tinggal setengah lagi, Ranto Nampak tidak peduli
dengan ekspresi ibu Tia yang mengacuhkannya dan memandangnya dengan jijik. Ibu
Tia menghempaskan tubuhnya dikursi goyang kesayangannya, kemudian memejamkan
matanya.
            “Ibu, kenapa ibu bersikap begitu
kepada Ranto?” Tanya Ranti yang sekarang duduk di sebelah ibu Tia
            Ibu Tia membuka matanya kemudian
melirik kepada Ranti, lalu kembali ke titik asal.
            “Ibu, Ranto itu pacarnya Ranti,
Ranti sayang sama dia, dia baik bu,, kenapa ibu begitu?” Tanya Ranti
            “Anak yang tidak punya Totokromo
begitu kamu bilang baik” balas ibu Tia pedas
            “Ranto benar-benar baik, bu… mungkin
perilaku dan penampilannya memang jauh dari harapan ibu, tapi hatinya sangat
baik bu.. hatinya sangat bersih” Ranti mencoba menjelaskan
            “Kamu berkata seperti itu karena
kamu cinta kepada si Ranto, Ranto itu kan!” ucap ibu Tia, pelan.
            “Ranti berbicara apa adanya bu,
Ranto memang sangat baik, bahkan Ranto selalu melindungi Ranti dari anak-anak
kampus yang godain Ranti”
            “Kamu ki ayu nduk,, masa pacaran
sama laki-laki nggak jelas juntrungannya seperti itu”
        “Siapa orangtuanya? Dari mana
asalnya? Apa pekerjaan orangtuanya? Apa dia keturunan ningrat?” Tanya ibu Tia
       Ranti menarik nafas yang panjang
sebelum menjawab pertanyaan dari ibunya. Lalu menenangkan hatinya.
            “Ayah Ranto dosen seni rupa di ITB
bu, ibunya seorang perawat di Rumah Sakit Fatmawati, Ranto berasal dari
Jakarta,, Ranto memang bukan keturunan ningrat, tapi Ranti sangat menyayangi
dia, bu”
            “Pasti dia tidak sepintar ayah dan
ibunya” kata ibu Tia
            “Kenapa ibu berkata seperti itu?”
Tanya Ranti heran
            “Kalau dia pintar, sudah pasti dia
akan berkuliah ditempat ayahnya bekerja,, bukan disini”
            “Ibu salah, Ranto anak yang cerdas,
nilai-nilai mata kuliah dan ujiannya selalu bagus, bu” bela Ranti
            “Kenapa ibu tidak bisa bersikap baik
kepada Ranto?” Tanya Ranti
            “Untuk apa besikap baik kepada anak
yang tidak tahu diri, tidak punya tatakrama, urakan dan tidak jelas masa
depannya begitu”
            “Ibu tidak setuju kamu berhubungan
dengan dia, itu akan menimbulkan dampak buruk untuk kamu” kata ibu Tia lagi
            “Lebih baik kalian akhiri hubungan
kalian” tambah ibu Tia
            “Ranti gak mau, bu”
            “Ayahmu juga sudah pasti tidak akan
setuju, kita ini keluarga terpandang dan keturunan darah biru, Ranti, kamu
harus memiliki calon suami yang jelas bibit, bobot dan bebetnya, bukan malah
dengan laki-laki yang sama sekali tidak jelas masa depannya, bahkan mungkin
masa depannya suram”
            “Ibu,, ibu tidak boleh menghakimi
orang lain seperti ini, bu,, Allah bisa membuat apapun didunia ini berubah,
termasuk Ranto. Semuanya hanya membutuhkan poses bu”
            Ranti kemudian meninggalkan ibunya
dan segera menemui Ranto diluar. Sepertinya Ranto mendengar percakapan Ranti
dengan ibunya yang membahas semua tentang dirinya.
            “Ibu mu nggak setuju ya sama hubunga
kita?” Tanya Ranto
            Ranti sontak kaget dengan ucapan
Ranto, dia berusaha tenang dan mulai memamerkan senyuman manisnya.
            “Nggak ko, siapa yang bilang? Ibu
seneng kok ngeliat mas,, cuman ibu keliantannya lagi capek aja mas, banyak
masalah ditoko sepertinya”
            “Nggak usah bohong Ranti, mas tahu
kamu bohong”
            “Aku jujur mas, aku nggak bohong”
            “Aku sebaiknya pamit pulang saja,
aku merasa tidak enak lama-lama dirumah kamu”
            “Mas marah, ya? Tanya Ranti
            Ranto menggeleng, lalu dia
berpamitan pulang kepada Ranti, kini tubuhnya sudah menghilang dari hadapan
Ranti.  Ranti sangat mengetahui kalau
Ranto kecewa atas sikap ibunya tadi, tapi apa boleh buat ibu memang tak sepaham
dengan Ranti dan tidak pernah memberikan kesempatan padanya.
            Tak terasa airmata mulai menetes
dipipi Ranti, kemudian terdengar suara Guntur yang gemuruh serta terlihat
kilauan petir yang seketika membuyarkan lamunan Ranti. Tanpa ia sadari kini
langit berubah menjadi gelap, awan-awan hitam, menyelimuti langit yang tadi
terlihat sangat cerah, sepertinya tidak lama lagi akan turun hujan.
            Ranti segera melirik jam
ditangannya, masih ada waktu 8 menit lagi sebelum Ranto datang menemuinya
disana. Ranti memutar kembali otaknya dan memikirkan cara terbaik untuk
memutuskan hubungannya dengan Ranto tanpa harus menyakiti perasaan Ranto.
            Ranti menarik nafas dalam-dalam lalu
menghembuskannya secara perlahan, sedikit demi sedikit. Setelah merasa cukup
tenang, dia mulai berlatih mengucapkan kata demi kata yang dirangkai secara
halus dan lembut agar tidak menyakiti perasaan Ranto.
            “Mas,,apa kabarmu? Lama ya kita
tidak jumpa sejak kita masing-masing magang dan sibuk menyusun skripsi kita”
            “Alhamdulillah kalo kamu sehat dan
baik-baik aja, Oh iya gimana magangnya? Seru?”
            “Wah.. syukur kalau begitu, magang
aku ya gitu-gitu aja mas”
            “Emm… skripsinya lancar, kan?”
            “Alhamdulillah, jadi kita bisa
wisuda sama-sama ya kalau begitu”
            “Ibu dan Bapakmu di Jakarta sehat?”
            “Syukurlah kalau Orangtuamu sehat,
aku sangat lega mendengarnya, bapak ibuku juga sehat, usaha mereka semakin
lancar.
            “Adikmu, Tiwi pasti sekarang sudah
kelas 2 SMA ya?”
            “Pasti dia tambah Cantik dan tumbuh
dewasa”
            “Bandmu gimana? Aku dengar kalian
dapat tawaran rekaman dan bikin album?”
            “Wah, hebat dong ya,, sebentar lagi
mas bakalan jadi artis Top Indonesia, pasti cewek-cewek pada ngedeketin
mas,,nanti aku jadi susah kalo mau nemuin Ranto Adiwijaya”
            Ranti segera mengambil nafas
dalam-dalam lagi lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan.
            “Apa yang tadi aku katakana tidak
terlalu bertele-tele?” Tanyanya sendiri kepada dirinya
            “Ya Allah, hamba bingung,, hamba
sangat takut menyakiti hati Ranto, hamba Takut” ucap Ranti sembari menghapus
airmatanya yang menetes.
            Dia melirik kembali jam tangannya,
masih ada waktu enam menit lagi, dia mulai memikirkan kembali cara yang lebih
halus untuk mengakhiri hubungannya dengan Ranto, Ranti sangat tidak ingin
menyakiti hati Ranto.
            “Mas,, boleh aku jujur?”
            “Aku,, aku..”
            “Aku tidak tahu harus berkata apa,
memulai darimana dan aku pasti tidak bisa memaafkan diriku sendiri, mas.. aku
sangat menyayangi mas, tapi mas tahu sendiri kan, kedua orangtuaku tidak pernah
menyetujui hubungan kita ini”
            “Aku bingung mas, mau menjelaskan
apa kepada kamu, aku kehabisan kata-kata, mas”
            “Tapi mas janji tidak akan marah?”
            “Apa mas, siap?”
            “Aku takut mas marah, aku takut mas
kecewa, aku takut mas kesel sama aku dan nggak mau kenal sama aku lagi”
            “Karena aku…”
            “Entahlah mas, aku bingung”
            “Aku takut menyakiti perasaan mas..”
            “Aku tidak yakin harus mengatakan
ini semua, mas”
            “Kemarin malam,, keluarga Mas Rino
datang ke rumah”
            “Mas Rino adalah anak dari direktur
tempat ayahku bekerja, ibunya juga pembeli tetap toko batik milik ibu,
sementara mas Rino adalah anak tunggal mereka dan sekarang berprofesi sebagai
dokter, padahal usianya masih 22 tahun, sama seperti kita, tapi dulunya sewaktu
SMP dan SMA mas Rino ikut jalur akselerasi, juga saat kuliah SKS yang
diambilnya sangat banyak, jadi mas Rino udah 3 tahun lulus dan bekerja sebagai
dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, kebetulan kemarin sedang liburan
disini”
            “Aku tidak mencintai dia, mas.. aku
juga tidak mengkhianati cinta mas,, hanya saja aku baru tahu kalau…”
            “kalau ibu dan bapak menjodohkan aku
dengan mas Rino sejak kecil”
            “Aku tidak bohong mas, aku berkata
yang sejujur-jujurnya”
            “Aku minta maaf, karena ini pasti
menyakiti hati mas Ranto”
            “Aku sangat menyayangi mas, aku
ingin menikah dan menjadi istri dari mas Ranto, tapi mungkin semuanya hanya
ilusi mas, aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak bisa menolak keinginan
kedua orangtuaku, aku tidak ingin menentang mereka, mas.. aku harap mas mau
mengerti”
            “Mas Ranto, gak benci aku, kan?”
            “Semoga mas Ranto sukses ya, mas..
semoga mas Ranto mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku, dan kalau nanti
mas menikah jangan lupa ngundang aku ya, mas”
            “Rasanya kata-kata yang aku susun
dari kemarin masih kurang halus, aku sangat takut membayangkan ekspresi wajah
mas Ranto, bagaimana ini?” kata Ranti dengan pelan, seperti saat tadi dia
melatih kata-kata dan menyiapkan antisipasi jawaban dari semua jawaban dan
pertanyaan yang kemungkinan akan terlontar dari mulut Ranto.
            Ranti kemudian membuka tasnya dan
mengeluarkan kotak  hadiah yang cukup
besar tapi warnanya sedikit kumal, mungkin karena sudah terlalu lama ada digenggamannya.
Kotak hadiah itu diberikan oleh Ranto, didalamnya terdapat semua hadiah yang
pernah diberikan oleh Ranto, ada boneka panda kecil, kotak musik, kalung, jam
tangan, gelang-gelang, foto-foto mereka berdua juga ada.
            Ranti memutar kotak musik itu hingga
mengeluarkan bunyi merdu dan terlihat tarian dari boneka balet itu. Ranti
meneteskan kembali airmatanya, semua kekuatan yang dia kumpulkan selama
beberapa hari dan juga kata-kata yang telah dia susun dari kemarin-kemarin.
Semuanya seolah lenyap, Ranti sangat merasakan kesedihan yang mendalam
menjelang detik-detik perpisahannya dengan Ranto yang sebentar lagi akan
terjadi.
            Terdengar lagi bunyi Guntur yang
menandakan hujan akan segera turun, Ranti memandangi sekelilingnya yang kini
mulai sunyi, semua orang pergi menuju ke tempat yang tidak akan terkena air
hujan yang sebentar lagi akan turun untuk membasahi bumi. Ranti tetap stay dan
setia menunggu kedatangan sang kekasih yang selalu setia menemaninya dalam suka
dan duka selama beberapa tahun ini. Bukan perkara mudah bagi Ranti untuk
menghapus semua memori indah yang dia lalui bersama Ranto, bukan hal yang mudah
juga baginya untuk memutuskan hubungan yang terjalin selama bertahun-tahun
meskipun tanpa restu dari orangtuanya.
            “Mas,, aku tidak tahu harus berbuat
apalagi, sekuat tenaga aku mempertahankan hubungan kita, tapi bapak dan ibu
tidak pernah setuju, maafkan aku mas” ucapnya dalam hati
            Airmata itu pun menetes semakin
deras, Ranti merasa jiwanya terbelah menjadi dua. Ranti merasa hatinya
tercabik-cabik, dia harus membunuh rasa cintanya yang begitu besar terhadap
Ranto, lalu harus bersanding dengan Rino, yang baru satu kali bertemu.
            “Kenapa ibu dan bapak harus
memberiku pilihan yang sangat sulit seperti ini, apakah aku memang harus
benar-benar merelakan cinta pertamaku pergi, cinta yang selama ini menghiasi
kehidupanku, cinta yang selalu membuatku tertawa bahagia?”
            “Tuhan, walaupun mas Rinto perilaku
dan penampilannya begitu, tapi yang aku tahu hatinya sangat baik, dia tidak
pernah sekalipun menyakitiku apalagi sampa aku mengeluarkan airmata. Mas Rinto
sangat mengerti sikap dan emosi jiwaku”
            Ranti kembali melihat jam tangan
berwarna silver kesayangannya itu, sekarang tinggal 3 menit lagi dan Ranto
pasti akan segera hadir dihadapannya, Ranti kembali menarik nafas panjang dan
menghembuskannya secara perlahan, dia berusaha tenang padahal jiwanya sangat
tergoncang dan dia sangat gugup, dia takut tidak bisa mengatakan apapun kepada
Ranto. Ranti berharap Ranto bisa menerima kenyataan berat ini dan berakhirnya
hubungan yang mereka bina Selama bertahun-tahun.
            Detak jantung Ranti semakin kencang
karena jam tangannya menunjukkan tinggal 3 menit lagi Ranto akan datang
menghampirinya dengan senyuman khas yang selalu menghiasi wajahnya, sekalipun
hatinya sedang bersedih. Itulah yang selalu membuat Ranti kagum kepada Ranto,
betapapun jeleknya pandangan orang terhadap orang yang sangat dia kasihi.
            “Tenang Ranti tenang,, semuanya akan
baik-baik saja,, santai, santai jangan gugup, jangan takut,, Ranto pasti akan
mengerti” ucapnya dalam hati

            Terdengar
derap langkah kaki mendekatinya, Ranti menengok ke samping kanannya, disana dia
melihat Ranto yeng sedang berjalan mendekatinya sembari tersenyum.



Kisah Ranto

            Ranto baru saja selesai mandi,
terlihat rambutnya yang basah karena baru saja keramas, juga badannya yang
masih sedikit basah, Ranto mengeringkan rambutnya dengan handuk, kemudian dia
berganti pakaian, memakai kaus berwarna biru, jeans biru, topi biru, sepatu
kets kumal kesayangannya serta tas gendong yang juga terlihat kumal, karena
hampir tidak pernah dicuci oleh Ranto. Sebagai seorang anak band dan pencinta
seni rupa, Ranto memang tipikal orang yang cuek dan tidak tahu malu, bahkan
kebanyakan orang bilang kalau urat malu milik Ranto sudah putus.


            Dan semua orang tidak pernah
menyangka kalau dia bisa berpacaran dengan Ranti, yang berbanding terbalik
dengannya, tapi mungkin inilah yang namanya keajaiban dan perbedaan yang memang
seharusnya saling mengisi sama lain. Ranto kini sudah Nampak rapih, dia berdiri
didepan cermin sambil bersiul-siul. Tiba-tiba munculah Tomas, sahabat dekatnya
semenjak dia menempuh kuliah di Surabaya.

            “Weleh, weleh,, keren banget bro”
kata Thomas yang takjub melihat penampilan Ranto yang lebih rapih juga lebih
harum dari biasanya
            “Apaan sih, loe,, biasa aja ini”
balas Ranto sambil tertawa terkekeh
            “Mau kemana, mas bro?”
            “Ketemu Ranti, tom”
            “Asyiik cihuyy,, yang mau ketemu
belahan jiwanya, yang mau kangen-kangenan” goda Thomas
            “Biasa aja kali, tom,, nothing
special for today” ucap Ranto, lirih
            “What’s up?”
            “Mungkin ini akan jadi saat terakhir
buat gue ketemu Ranti, setelah ini gue akan fokus sama band gue, bikin album,
tour keliling Indonesia, nerusin perusahaan bokap, teruss…” Ranto menghentikan
pembicaraannya.
            “Kenapa terakhir, To? Kalian ada
masalah apa sebenernya? Kalian itu udah klop banget, semua anak kampus ngiri
banget kalo kalian jalan berdua, so kenapa loe bilang yang terakhir?” Tanya
Thomas yang merasa heran dengan maksud dari perkataan Ranto.
            “Gue bukan yang terbaik buat dia,
orangtuanya gak pernah setuju gue sama Ranti”
            “Tapi bukan berarti loe nyerah kayak
gini, To.. Ranti pasti sedih banget, To,..” protes Thomas.
            “Gue udah pikirin ini sejak lama,
Tom,, gue gak mau nahan Ranti lebih lama lagi sama gue, gue pengen dia
bersanding sama orang yang tepat, gue pengen dia bahagian dan orangtuanya
setuju sama pilihannya kelak, yang pasti bukan gue” ucap Ranto pelan
            “Kenapa loe jadi cengeng gini, To?
Hidup itu penuh perjuangan, semuanya gak ada yang gratis, operator pulsa mahal,
cari duit susah, makan susah, minum susah, mandi susah, dan yang terpenting dan
lebih susah adalah ketika loe akan kehilangan orang yang bener-bener sayang
sama loe,,jangan sampe loe nyesel nantinya, To.. kesempatan gak selalu dateng 2
kali dihidup loe” tegas Thomas
            “Gue ngerti Tom, tapi gue mesti
tetep mengakhiri hubungan gue sama Ranti, I have no choice, gue yakin ini yang
terbaik buat gue sama dia, thank ya saran-saran dari loe, loe sobat terbaik,
tapi sorry gue gak bisa ngikutin saran dari loe untuk yang satu ini, sejujurnya
gue emang sayang banget sama Ranti, tapi apa boleh buat, gue pengen yang
terbaik buat hidupnya Ranti, dan gue bukan yang terbaik buat hidup dia, gue mau
nerusin karir gue dulu, Tom, gue mau fokus, tanpa harus mikirin yang lain,
termasuk pacar”
            “Okey, lah brother.. anything for
you,, lakukan apa yang menurut loe baik buat hidup loe, gue mau cabut dulu, ada
janji sama Tamara”
            “Eitss, mantap loe, Tom.. gak ketemu
2 bulan sama gue, sekarang udah banyak kemajuan, ya,, bisa jalan sama Tamara,
amazing brother, gue suka gaya loe, ini baru namanya laki-laki dan ini baru
sobat gue” Ranto terkekeh
            “Sialan, loe.. jadi selama ini gue
apaan? Cewek menurut loe? Apa bencong? Kampret loe!” balas Thomas sambil
menjitak kepala sahabatnya itu lalu pamit dan pergi meninggalkan Ranto dibalkon
depan kostan mereka.
            Ranto termenung, dia kembali
meresapi nasihat-nasihat dari Thomas tadi, “Thomas mungkin bener, kesempatan
gak selalu dateng 2 kali, gue emang sayang banget sama Ranti, dia kayak
malaikat buat hidup gue, dan dia juga yang perlahan ngubah kebiasaan buruk gue
sedikit demi sedikit, dia nerima gue apa adanya tanpa minta apapun.. apa gue
tega mutusin hubungan gue hari ini, tepat ditanggal jadian kita? Gue jadi ragu
gini, Tuhan berikan hamba-Mu ini jalan yang terbaik, tunjukkanlah kebesaran-Mu,
tunjukkan apa yang harus hamba lakukan sekarang”, teriak Ranto didalam hatinya.
            Ranto melirik jam tangan yang
melingkar ditangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 12.45, itu artinya masih
ada waktu 15 menit untuk dia bersiap-siap dan memikirkan kembali cara yang
sangat lembut untuk memutuskan hubungannya dengan Ranti tepat pukul 13.00
ditaman, dihari jadi mereka yang ke empat tahun, waktu yang cukup lama untuk
mereka.
            Ranto berpikir keras, dia menyiapkan
kata-kata basa basi terlebih dahulu, walaupun garing tapi setidaknya dia bisa
menghindar terlebih dahulu dari bahasan utamanya yang akan dia tampilkan di
ending.
            “Hai, apa kabar?”
            “Aku juga baik, long time no see,
honey.. gimana magang and skripsinya?”
            “Ya sama sih, magang gitu-gitu aja,
skripsi, aku gak suka ni kalo bahas skripsi, sangat sangat sangat melelahkan
dan menjengkelkan,, bapak sama ibu, sehat?”
            “Syukurlah kalo gitu, aku seneng dengernya
kalo bapak sama ibu sehat..bapak sama ibu aku juga sehat kok…”
            “kapan mau ikut aku ke Jakarta? Kita
liburan ke Dufan, naik semua wahana yang memacu adrenalin terus…”
            “terus kita romantis-romantisan di
pantai marinanya”
            “Oh, Tiwi? Mmmm dia fine-fine aja
kok,, sekarang udah gede lah, udah kelas 2 SMA, dan sebelnya banyak cowok yang
nelponin dia, nganterin dia pulang, beliin dia ini itu, dan sampe ada yang rela
ngerjain PR nya, gantiin jadwal piket sekolahnya, bayarin makan dikantin. .
pokoknya dia kayak artis dikerjar-kerjar sama fans panatiknya”
            Ranti membayangkan dia dan Ranti
tertawa bersama-sama, karena ceritanya tadi tentang Tiwi, adikknya yang
beranjak dewasa dan menjadi primadona sekolahnya. Tapi Ranto merasa semuanya
terlalu basi dan garing, dia yakin Ranti pasti akan mencurigai dirinya
menyembunyikan sesuatu,, Ranto berfikir lagi, tapi dia merasa otaknya sudah
buntu, tidak bisa memikirkan hal yang lain lagi, sekarang badannya terasa lemas
dan kaku, bibirnya terasa kelu dan pahit, dia tak bisa membayangkan bagaimana
reaksi Ranti ketika dia tiba-tiba memutuskan hubungan mereka dihari jadi mereka
yang ke empat, rasanya pasti sangat menyakitkan hati Ranti. “Bukan hanya kamu
yang akan sakit hati, Ti,, tapi aku juga, aku sebenarnya tidak mau begini, tapi
keadaanku yang sekarang tidak memungkinkan bila kita terus bersama, aku ingin
kamu mendapatkan yang tervaik dihidupmu, dan itu bukan aku, Ti..”
            Ranto kemnbali melirik jam
tangannya, kini tersisa waktu 13 menit lagi sebelum dia bertemu Ranti, dia harus
sudah siap menanggung resiko dari keputusannya nanti, Ranto kembali memutar
otaknya untuk menemukan solusi ataupun jalan yang lebih baik atau cara yang
lebih baik. Pandangan Ranto lurus kedepan, menerawang semua kejadian-kejadian
yang pernah dia alami bersama Ranti, orang yang paling dia kasihi.
            Ranto ingat, dulu mereka tidak
sengaja bertemu karena ada tugas yang harus dikumpulkan pada dosen yang sama
tetapi berbeda matakuliah, mereka tergesa-gesa menuju rungan Prof Drs Budiman,
SE. hingga akhirnya mereka bertabrakan didepan pintu ruangan beliau.
            “Aduhh..” rintih Ranti
            “Maaf, maaf.. gue gak sengaja,, loe
baik-baik, aja kan?”
            “Jalan yang bener dong, mas..”
bentak Ranti sewot
            “Loe aja yang sengaja caper sama
gue, kan,, gue tahu kok gue ganteng, gue dipuja sama cewek-cewek kampus sini,
bahkan yang lebih cantik dari loe”
            “PD gila,, mending gue sama Monyet
aja”
            “Yaudah sana loe sama monyet, gue
juga ogah kali pacaran sama cewek kayak loe, yang rambutnya dikepang dua, pake
behel warna warni, kacamata tebel abis… udah kaya bettylavea” Ranto tertawa
terbahak-bahak
            “Saya juga ora sudi pacaran karo
sampean, udah rambut kayak landak,  sepatu kumal gitu, celana jeans rusak masih
dipake, tas kumal juga”
            “Ngomong apa sih loe, katro??” Tanya
Ranto sewot
            “Saya juga tidak mau pacaran sama
anda!, udah rambut kamu kayak landak, itu tuh binatang yang semua badannya duri
beracun, sepatu butut dan kotor, jeans jelek, tas juga gak kalah kotornya sama
sepatu”
            “Sialan loe, gue ini anak band,,
band gue udah mau rekaman, you know!” teriak Ranto
            Semua orang yang lewat melirik
kepada mereka, memandang heran dengan apa yang tengah Ranti dan Ranto
perbincangkan. Dan suara gaduh mereka pun terdengar ke telinga sang dosen,
hingga beliau keluar dari ruangannya kemudian menyuruh mereka masuk secara
bergiliran.
            Lamunan Ranto pun buyar, kini dia
senyam senyum sendiri bagaikan orang stress didepan kost-kostannya, dia tidak
sadar kalau sedari tadi dia menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat
didepan kostannya. Bagi para tetangganya, khususnya yang masih ABG, Ranto
adalah sosok yang menyejukkan hati mereka, membawa sensasi kesegaran
dikehidupan mereka, bagaiman tidak Ranto itu sempurna bak artis-artis ganteng
asal Korea, jadi mereka senang memperhatikan gerak-geriknya setiap hari.
            “To” kata Farid sembari menepuk
punggungnya dan berharap Ranto sadar kalau sejakn tadi dia menjadi perbincangan
hangat dikalangan ABG fansnya yang berada disekitar .kost-kostan.
            Ranto terperanjat kaget denga
kehadiran Farid.
            “Ah, sialan, loe.. mau bikin gue
mati? Jantung gue bisa copot atau engga berhenti mendadak nih, alias gue bisa
koid!” protes Ranto
            Farid hanya tersenyum mesem-mesem
melihat ekspresi wajah kesal Ranto.
            “Ya lagian loe, tengah hari gini
ngelamun, senyam senyum sendiri,, kayak orang gak waras, atau jangan-jangan loe
mikirin hal yang jorok? Hayo ngaku” Farid bagaikan seorang polisi yang sedang
mengintrograsi maling yang ketangkap basah mencuri sesuatu dikostannya.
            “Semprul koe! Sembarangan nuduh
aja,, mikirin hal kotor gundulmu! Aku lagi mikirin cara mutusin Ranti, tapi
biar gak nyakitin hatinya itu loh yang gimana?”
            “Hah? Mutusin Ranti?”
            “gue gak salah denger, kan?”
            “Kagak, kecuali loe budek!”
            “Emang ada masalah apa sih sama loe
dan Ranti, sampe-sampe loe mau mutusin dia?”
            “Gak ada..”
            “Teruss..?”
            “Ya, gue mau putus aja, emang
kenapa? Masalah buat loe?”
            “Iyalah, loe sohib gue, gue gak mau
loe ngelepasin cewek yang baik banget alias perpect kayak malaikat gitu”
            “Bettylavea dia dulunya”
            “Iya tapi sejak kepincut loe, dia
sekarang bagaikan bidadari berhati malaikat turun dari langit buat nyadarin loe
yang kelakuannya kagak karuan” Farid terbahak-bahak
            Ranto tidak membalas perkataan
Farid, dia bergegas menuju ke kamar kostnya dan berdiri kembali didepan cermin.
Dia berkaca dan memandang ragu pada dirinya sendiri, keteguhan hatinya untuk
benar-benar mengakhiri hubungannya dengan Ranti mulai goyah, mendengar 2
sahabatnya tadi berkoar dan memberikan pendapat.
            Kini pandangan Ranto tertuju kepada
bingkai Foto yang diletakkan diatas meja belajarnya, foto dia bersama Ranti.
Ranto sangat sadar banyak hal yang berubah dari Ranti, sejak dia menjadi
kekasihnya, Fashion dan gaya Ranti berubah menjadi lebih gaul, lebih hidup dan
tampak muda sesuai usia.
            “Kamu cantik sayang,,” gumam Ranto
sambil meraih bingkai foto itu
            “Senyum kamu, mata kamu, alis kamu,
rambut kamu, tertawa kamu, bicara kamu, bercandaan kamu..”
            “Argggggggh…..”
            Ranto menghela nafas panjang,
dadanya terasa sesak sekarang.
            “Apa aku sanggup ngelepasin kamu dan
hidup tanpa kamu?” tanyanya dalam hati
            “Tapi,, aku harus mengambil
keputusan hari ini juga, aku gak mungkin ninggalin kamu di Surabaya sementara
aku di Jakarta, aku gak suka kalo kita LDR, aku juga gak mau kamu kesepian
disini, dan aku juga gak mau kamu terus dimarahi orangtua kamu karena kamu
masih berhubungan sama lelaki macam aku, lelaki yang tidak pernah benar dimata
kedua orangtuamu” gumamnya dalam hati
            Ranto kembali melirik jam tangan
kesayangannya, kini tersisa waktu 9 menit lagi sebelum semuanya berakhir tepat
dihari dan tanggal bersejarah bagi mereka. Ranto menarik nafas dalam-dalam
kemudian menghembuskannya secara perlahan sedikit demi sedikit, agar hatinya
tenang.
            Dia membayangkan seolah-olah cermin
yang ada dihadapannya itu adalah Ranti yang sedang tersenyum simpul ke arahnya.
            “Sayang,, ada yang mau aku bicarain”
            “Mmm, aku bingung harus memulainya
dari mana..”
            “Aku,, aku,, aku bener-bener gak
tahu harus mulai darimana” Ranto mulai gugup, padahal ini baru latihan saja.
            “Aku takut kamu kecewa, kamu marah,
dan bahkan kamu benci sama aku” tutur Ranto didepan cermin
            “Aku.. aku gak sanggup membicarakan
hal ini, Ti”
            “Aku terlalu takut dan pengecut
untuk membicarakan ini sama kamu”
            “Aku,, aku juga gak tahu kenapa,
tapi tiba-tiba bibirku kelu, susah untuk mengungkapkannya”
            “Aku sayang banget sama kamu, kamu
sangat sempurna dimata aku,, tapi..”
            Ranto merasa sangat frustasi saat
ini, dia sangat bingung, latihan saja dia susah untuk berkata-kata apalagi
ketika nanti bertemu dengan orangnya langsung, apakah dia masih punya nyali
untuk menemui dan apalagi untuk memutuskan hubungannya dengan Ranti. Apakah dia
akan tega melihat orang terkasihnya sakit hati atau bahkan mungkin akan sangat
membencinya.
            Ranto terduduk diatas ranjang, dia
kembali memandangi jam tangannya, kini waktunya tinggal 7 menit lagi sebelum
dia pergi ke taman untuk menemui Ranti dan memutuskan hubungan mereka saat itu
juga.
            Ranto menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal, kali ini dia benar-benar sangat bingung untuk melakukan sesuatu.
Dia merasa tidak sanggup untuk melakukan hal itu, dia merasa tidak akan mampu
berhadapan dengan Ranti dan berkata,, “kita putus”. Bayangan dan sosok Ranti
memenuhi seluruh pikiran dan ruang hatinya. Darah Ranto semakin terasa panas.
Jantungnya berdebar tak menentu dan dadanya terasa sesak sekali.
            “Tuhan, kenapa rasanya sulit sekali
melakukan ini. . tolong berikan hamba-Mu ini jalan yang terbaik, Tuhan”
            “Come on, Ranto, wake up,, loe harus
tetep ngelakuin ini, loe harus tetep nyatain kenyataan pahit ini sama Ranti,
loe gak ada pilihan lain, daripada nantinya loe nyiksa perasaan Ranti, loe
lebih nyakitin perasaan dia”
            “Iya, gue harus,, gue tetep harus
ngambil keputusan pahit ini, gue harus lakuin ini, gue gak bisa mundur ataupun
nunda-nunda lagi, gue gak mau Ranti nantinya berharap lebih jauh lagi sama gue,
gue pengen dia bisa nemuin kebahagiaannya tapi bukan lewat gue” gumam Ranto
            Dia kembali berdiri kemudian menatap
cermin kembali, dia merasakan ada bayangan Ranti didalam cermin yang tersenyum
lebar kepadanya. Ranto sudah tidak bisa mundur lagi dari keputusan dan juga
rangkaian kata-kata yang sudah dia kumpulkan semenjak beberapa bulan yang lalu
semenjak mereka tidak bertemu karena kesibukkan sebagai mashasiswa tingkat
akhir yang magang dan menyusun skripsi.
            “Ya, maafin aku Ranti, aku ngelakuin
ini bukan karena aku sudah gak sayang, gak cinta ataupun sudah gak peduli sama
kamu, melainkan aku lakukan ini karena aku sangat sayang sama kamu, aku yakin
ini yang terbaik buat kita, walaupun mungkin rasanya perih dan sulit untuk
melupakan semua kenangan indah kita selama 4 tahun ini, tapi aku yakin kita
pasti bisa berdiri dan berjalan masing-masing”
            “Sebenarnya aku sangat tidak ingin
mengatakan hal ini, jika aku punya pilihan yang lebih bagus lagi dari ini, aku
akan sangat memilih untuk tetap berada disamping kamu, dan bahkan menjadi
pendamping hidupmu selamanya sampai ajal menjemput dan maut yang memisahkan
kita.. tapi…”
            “Tapi rasanya itu sangat muluk dan
impossible banget buat kita, aku sayang kamu, aku gak mau kamu menderita bila
terus bersama aku, aku gak mau orangtua kamu terus-terusan memarahi kamu karena
ketidak setujuan mereka atas hubungan kita selama ini, Ranti aku harap kamu mau
mengerti dan menghargai keputusan aku ini, aku mengakhiri hubungan kita bukan
karena aku tidak menyayangi dan mencintai kamu lagi, melainkan aku sangat
mencintai dan menyayangi kamu, maka dari itu aku ingin yang terbaik untuk
hidupmu, aku akan tetap menyayangi kamu sampai kapanpun itu”
           Ranto menarik nafas panjang lagi
lalu menghembuskannya pelan-pelan sebelum mengucapkan kata-kata terakhirnya
dilatihannya kali ini didepan cermin yang dia anggap sebagai Ranti.
           “Aku akan selalu ada untuk kamu,
kapanpun kamu membutuhkan tempat untuk mengadu,, aku akan tetap setia
mendengarkan keluh kesah kamu, aku janji, Ranti…Oh iya, setelah wisuda nanti
tadinya aku akan kembali ke Jakarta dan menjadi anak band yang sesungguhnya
sambil membantu ayah diperusahaannya, tapi baru saja aku dapat surat dari
kampus, aku mendapatkan beasiswa studi S2 di negeri Sakura Jepang,, aku janji
liburan nanti aku akan datang bawain kamu bunga sakura yang asli ke Surabaya”
            “Kamu
setuju, kan dengan keputusan aku ini?”
            “Jangan
menangis Ranti, Please,, aku gak bisa lihat airmata kamu mentes.. jangan
biarkan airmata kamu terbuang percuma hanya karna menangisi aku, aku bukan
orang yang pantas untuk kamu tangisi, aku lebih pantas jika kamu maki-maki,
kamu marahi, itu lebih pantas aku dapatkan, Ranti daripada airmata berlian kamu
ini”
            “Kamu
harus janji sama aku, kamu gak akan nangisin perpisahan kita ini,, cukup disini
kamu meneteskan airmata perpisahan kita yang terakhir, jangan pernah nangis
lagi ditempat lain, kamu sayang kan sama aku?”
            Ranto
membayangkan Ranti mengangguk dan menatap kedua bola matanya, menusuk ke
jantung dan hatinya, memberikan kehangatan disetiap aliran darahnya.
            “Kalo
kamu sayang sama aku, kamu harus janji gak nangis lagi, ya?”
            “Aku
yakin kamu bisa tanpa aku, bahkan kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari
aku dan sesuai dengan harapan kedua orangtuamu, please,, keep smile.. for me?”
            Ranto
membayangkan dia menghapus airmata yang menetes dipipi Ranti dengan kedua
tangannya, kemudian Ranti tersenyum simpul dalam peluknya. Tanpa Ranto sadari,
dia terbawa suasana haru latihannya. Airmata menetes dipipinya, dia merasa
tidak akan sanggup dengan adegan yang seperti ini, ini terlalu sulit untuk ia
lakukan, dia takut akan menyesal dengan keputusan yang dia ambil hari ini. Tapi
apa boleh buat, ini yang terbaik untukknya dan juga terbaik untuk Ranti.
            Ranto
masih memiliki waktu 5 menit lagi sebelum dia menemui Ranti ditaman tepat pukul
13.00. Ranto memandang ke arah jendela kamarnya yang terbuka lebar, dia
memandang ke langit yang tadinya cerah sekarang berubah siselimuti awan-awan
mendung dan terlihat pancaran kilat juga suara petir yang cukup menakutkan,
seolah-olah itu semua mewakili gejolak kehancuran hati Ranto saat ini.
            Ranto
kemudian memandang dirinya dicermin dan berusah dengan tenang juga semangat,
meyakinkan dirinya kalau dia bisa melakukan hal ini. Demi masa depan cerah
mereka berdua. Dan jalan terbaik bagi dia dan Ranti.
            “Come
on Ranto, life must go on, gak ada lagi waktu untuk mundur dari semua ini,
tepat atau tidaknya ini dilakukan hari ini, itu urusan nanti, yang pasti lebih
cepat maka akan lebih baik, kamu gak boleh nyakitin hati Ranti lebih lama lagi,
dia terlalu baik buat kamu, Ranto,, dia ibaratnya adalah seorang malaikat atau
bisa disebut sebagai bidadari, sementara kamu, kamu hanya iblis yang membayangi
kehidupan Ranti, membuatnya terlihat memiliki sisi gelap”
            “Ya,
gue harus yakin sama diri gue sendiri, apapun yang terjadi hari ini, menurut
gue ini adalah keputusan yang tepat, gak bisa diundur-undur lagi, Ini harus gue
nyatain hari ini daripada selalu mengganjal dihidup gue, aku melepaskan kamu,
agar kamu mendapatkan apa yang seharusnya kamu dapatkan, bukan malah tetap
berhenti dihatiku tanpa melakukan perubahan apapun”
            “Aku
akan terus menyayangi kamu sampai kapanpun itu, bila nanti Tuhan mentakdirkan
kita bertemu lagi dan kita masih sama-sama sendiri, itu artinya kita berjodoh,
aku Cuma bisa berharap kalau kita benar-benar berjodoh, dan setelah sukses
nanti, aku bisa meminangmu menjadi pendamping hidupku selama-lamanya sampai
maut yang memisahkan kita”
            Ranto
menyelesaikan kalimat latihannya yang terakhir, kini dia hanya memiliki waktu 3
menit menuju ke taman komplek yang berjarak sekitar 1 Km dari tempat kostnya.
Dia berjalan dengan langkah yang berat menuju ke halaman depan lalu menyalakan
sepeda motornya, kemudian ia naik dan melaju ke taman komplek dengan cepat, dia
tidak ingin terlambat di,, mungkin bisa dibilang dipertemuan terakhirnya.
            “Tunggu
aku Ranti Rismawanti, aku akan datang” teriak Ranto sambil mempercepat laju
sepeda motornya.

 

Tinggalkan komentar